Senin, 11 November 2013

Pahlawan Pena


Kini zaman kian gaduh dengan serbuan kata. Ia menjelma dalam pandangan, pengamatan dan pendapat beragam jenis orang. Pemimpin menyekat keterbatasannya dengan kata. Para bintang menumbuhkan popularitasnya dengan kata. Para tokoh merasa bijaksana dengan cara menggelar pertunjukkan kata-kata. Bahkan banyak orang mengaku pakar dan menganggap tahu akan banyak hal, dengan cara memainkan dan mengolah banyak kata. Alhasil, mungkin fakta tidak lagi dianggap menarik bagi sebagian besar orang. Ilusi kata kini lebih menggoda. Sehingga kita menjadi bangsa yang kenyang dengan kata. Hingga pada akhirnya kita merasa cukup dengan kata tanpa upaya untuk menemukan realita.

Di balik gemuruh manusia menjadikan kata sebagai komoditas. Ternyata ada segilintir dari mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pandangan yang membuatnya dikenang oleh manusia tanpa ia perlu mengolah kata. Tidak bersandar pada kata dan menjadikannya sebagai pijakan untuk menorehkan makna. Hingga kata yang sesungguhnya lahir dari apa yang ia torehkan dalam gelaran sejarah hidupnya. Dia adalah sosok pahlawan. Garis perjuangannya tidak bergantung pada besar kecilnya jumlah kata dimuat agar ia dapat  disebut pahlawan.

Tak perlu banyak retorika kata, Bung Tomo memekikan “Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar, Merdeka!” Sehingga dengannya ia dapat membakar semangat para pemuda dan pemudi untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Kesungguhan dan jihadnya dikenang oleh diorama sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Karya besarnya diiringi dengan kebesaran jiwa dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Sejarah kepahlawan itupun akan terus berlanjut. Bahkan di dalam rentang waktu kehidupan kita saat ini. Tantangan dan cara berjuangnya mungkin berbeda, namun fitrah kepahlawanan akan senantiasa sama, bahwa seorang pahlawan diakui karena karya besarnya. Karya yang bernilai manfaat seluas-luasnya. Karya yang dapat melipatgandakan kebaikan-kebaikan yang dirasakan oleh banyak orang. Karya yang berdampak pada perubahan tatanan kehidupan masyarakat yang carut-marut menjadi santun dan beradab.

   Itulah mengapa makna pahlawan perlu kita luaskan. Bukan sekedar mereka yang makamnya dihiasi dengan topi prajurit. Bukan hanya mereka yang gugur di medan perang atau terbunuh dalam konspirasi melawan penjajah. Namun pahlawan adalah sosok yang berani berjalan dan berjuang di atas koridor kebenaran. Walau di dalamnya terdapat ujian dan hambatan yang tentunya tidak ringan. Ia lebih menyukai berkorban untuk memperjuangkan kebenaran dan kepentingan banyak orang, dibandingkan menghimpun popularitas dan keharuman namanya. Dengan apapun sarana yang mereka punya, orientasi dan tekad berjuang mereka tidak sedikitpun memuai. Dahulu mungkin hanya sebatang bambu runcing, namun sekarang bisa jadi ia menjelma menjadi pena. Bahkan seni dan sastra salah satunya.

Seorang jurnalis terkemuka asal Kolombia Gabriel Marquez mengatakan, “Bangsa yang tidak menghargai sastrawan dan seniman serta mengabaikan tanda-tanda peringatan kebajikan melalui karya seni dan sastra merupakan bangsa yang gagal memaknai jiwa kemanusiaan dan kemerdekaan.” Ungkapan ini menjadi refleksi besar bagi kita sebagai bangsa. Di tengah badai masalah yang datang bertubi-tubi dan tak kunjung selesai. Kita kehilangan orientasi dan prioritas untuk mencipta karya-karya besar yang melahirkan para pahlawan baru. Seperti perahu yang melaut tanpa layar, dan berlabuh tanpa jangkar.  Energi kita sebagai bangsa habis untuk menyelesaikan satu urusan kenegaraan yang tak kunjung selesai. Sedangkan masalah yang lain dianggap tidak penting. Padahal boleh jadi salah satunya merupakan ladang untuk berkarya dan mencetak sejarah kepahlawanan kita. Jika kondisi ini terus berlanjut, jangan-jangan kita akan menjadi bangsa yang buruk rupa, bahkan  buruk rasa...

Jika fakta berbicara demikian. Sungguh betapa memalukan perilaku mereka yang bersembunyi di balik kata. Mendapatkan kursi kepemimpinan, popularitas dan hingar bingar sanjungan banyak orang namun ternyata tak mampu menorehkan karya untuk sejarah kepahlawanan bangsa. Betapa mengenaskan jika kita tak mampu berbuat apa-apa, padahal api keburukan merajalela di sekitar kita. Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah  memberikan gambaran nyata terkait hal ini, “Janganlah kalian meremehkan diri kalian sendiri.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seorang disebut meremehkan dirinya sendiri?” Rasul menjawab, “Jika dia melihat perintah Allah kepadanya yang di dalamnya mengharuskannya bicara, kemudian dia tidak mengatakan apa-apa bahkan berkata: Biarlah Allah yang mengurusnya.” Di akhirat akan dikatakan kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk mengatakan begini dan begitu?” Dia menjawab, “Saya takut pada manusia.” Allah Berfirman, “Akulah yang lebih berhak untuk kamu takuti.”

Menjadi pahlawan pena mungkin tidak memiliki gengsi dibandingkan pahlawan-pahlawan yang lain. Namun jika ia memiliki tekad berkarya dalam koridor kebenaran dan kebaikan untuk banyak orang. Jika dengannya kita dapat membawa masyarakat semakin santun dan beradab dengan karya-karya kita. Mungkin ini menjadi amalan terbaik yang dapat kita banggakan kelak di hari pada saat Allah menimbang segala amalan yang kita lakukan. 

Minggu, 27 Oktober 2013

Memeluk Cahaya


Ada celah hitam pada hati kita. Itu sebuah kewajaran kita sebagai manusia. Namun ketika ia kian membesar hingga membentuk potongan ruang hampa. Ini yang membawa bencana bagi setiap hati yang berinteraksi dengan kita. Pun Allah Menegurku dengan Maha Lembutnya terkait hal ini, kutafsirkan maksud Sayyid Quthb menjelaskan ayat berikut:

Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba yang beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan hati mereka...” (Al-Anfaal: 63)

Di dalam Fi Zhilaalil Quran beliau menegaskan, “Aqidah ini (Islam) memang ajaib!”, ketika ia telah meresap dalam hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang di antara sesamanya. Yang keras menjelma lunak, yang kasar menjadi lembut, yang kering berubah basah, dan yang liar menjadi jinak. Mereka terjalin dalam jalinan kelindan di antara sesamanya dengan jalinan yang kokoh, dalam dan empuk (nyaman).

Berjuta haru dan terima kasih kuhaturkan bagimu duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabb-ku. Aku tersipu tanpa tahu harus memberikan lencana seperti apa kepadamu. Hanya saja aku merasa munajat ini yang sangat berharga dan dapat kuungkap: semoga kita memiliki keinginan untuk terus dapat memeluk cahaya. Kedalaman insyaf dalam hati semoga Allah hadirkan untuk kita. Sehingga kita begitu sadar dan sangat tertampar bahwa ukhuwah ini, sekumpulan cahaya ini, dan dakwah ini hanyalah milik Allah. Dan kita hanya numpang di dalamnya. Sesekali Allah bisa saja menghempaskan kita keluar darinya. Tanpa kita minta, tanpa kita niatkan sedikitpun.

Dalam diam, hati ini bergumam: mungkin iman itu adalah satu-satunya perekat yang dapat mengikat kita dalam persaudaran menembus batas ruang dan masa. Hanya kita saja yang terlalu naif dalam upaya melanggengkan ukhuwah dengan minimnya keimanan. Menyelimuti cahaya dengan selimut iman yang compang-camping. Allahummaghfirlana...

Dalam ringkihnya jiwa, hati ini bertutur: air mata yang menetes bukan hanya sebatas bahasa jiwa yang mewakili hati yang mungkin tersakiti. Boleh jadi ia ekspresi kekecewaan terhadap besarnya harap akan suatu yang mungkin dianggap dapat digantungi olehnya. Padahal, yang digantungnya terlalu rapuh. Maka dari titik ini kita mulai menyadari, ketika kita ingin berdakwah dan memeluk cahaya, ada yang harus kita pahami bahwa keberhasilan kita dalam dakwah tidak sama dengan hingar-bingar tepuk tangan manusia akan kerja-kerja dakwah kita. Bahkan bukan berbinarnya sorot mata orang dalam memuji langkah-langkah kita. Namun kemenangan kita berkorespondensi pada jinaknya hati dan pikiran, kematangan sikap dan kedekatan kita pada Allah.

Iltizam kita dalam dakwah akan menyebabkan kita mati rasa. Mati rasa dalam menghadapi kekecewaan dan keruhnya keadaan. Lihatlah betapa Bilal bin Robbah disiksa oleh Umayyah dan tentaranya dengan sangat menyakitkan. Ditindihi batu yang beratnya melebihi berat manusia pada umumnya. Namun karena iltizamnya terhadap Islam dan dakwah, beliau lantang mengucap, “Ahad... Ahad... Ahad.” Tanpa peduli betapa sakit dan peluh telah menyelimuti dirinya. Mampukah kita seperti beliau?

Kecewanya kita, terombang-ambingnya kita dalam keraguan untuk melangkah, malasnya kita dalam bergerak dan rapunya ukhuwah kita dalam memeluk cahaya merupakan serangkaian indikasi betapa iltizam kita masih payah. Betapapun kondisi kita, insya Allah masih lebih baik dari pada mereka yang masih dirundung duka oleh beringasnya orang-orang dzalim di penjuru dunia ini. Masih lebih baik dari mereka yang menghabiskan waktu dipenjara, masih lebih baik dari pada mereka yang difitnah, masih lebih baik dari mereka yang hidup dalam pusara nestapa dunia.


Bagaimanapun, memeluk cahaya akan terus membuat kita rindu untuk terus bersungguh-sungguh dan bersabar dalam meniti perjalanan iman ini. Robbana latuzig qullubana ba'daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab... Aamiin

Senin, 21 Oktober 2013

Tarbiyyah dan Kesederhanaan



Di dalam lingkar sederhana. Diskusi hangat malam hari itu terasa syahdu. Saya bersama dua orang adik-adik yang baik dan lugu. Sungguh mereka membuat saya tersenyum dan terkagum. Namun bukan berarti saya menikmati keluguan mereka, bahkan sebaliknya malah saya belajar banyak dari mereka. Betapa mereka memiliki keinginan kuat untuk berproses menjadi baik, memoles keimanan dan mengumpulkan tabulasi ilmu yang luas dengan cara yang sederhana. Kami menyebutnya tarbiyyah.

Hal sederhana yang kerap kali diajarkan para guru yang bijak adalah bagaimana kita sebaiknya lebih dahulu menerima keberadaan orang lain, sebelum mereka menerima keberadaan kita. Menempatkan diri menjadi bagian dari mereka, sehingga kita layak diterima dan dicinta dan dengannya kita berproses bersama dalam proses perbaikan. Saya kira ini prinsip penghargaan hidup yang paling sederhana dan dapat diterima banyak orang. Memperlakukan diri sendiri sebelum anda ingin perlakukan orang lain.

Salah seorang dari kami bertanya, “Mas, mengapa kita harus berdakwah?” Kemudian sesaat suasana menjadi hening. Saya hanya memasang mimik senyum sambil berpikir untuk dapat menjawab pertanyaan yang pas untuk disampaikan.

Ingin rasanya saya mengatakan bahwa dakwah itu wajib bagi setiap muslim. Sudah banyak dalil saya siapkan. Namun seketika saya kembali berpikir untuk lebih memilih pembahasaan yang lebih sederhana agar dapat dipahami bersama. Kemudian saya mendapatkan ide.
“Ada yang bisa bercerita tentang kue favorit yang paling kita sukai?” saya bertanya kepada mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berseloroh.
“Aku suka kue kelepon mas”
“Kenapa antum suka itu akhi?”
“Karena rasanya manis, terus kenyal dan ada kelapanya mas!”

Kemudian saya tersenyum sambil berkata, “saya juga suka kue kelepon...” Nampak adik-adik belum begitu dapat menebak maksud yang ingin saya ungkapkan. Beralih dengan jurus yang lebih lugas, saya mencoba mengarahkan cara berpikir mereka.
“Saya kira, kita memulai dakwah pun harusnya seperti itu” adik-adik masih mengernyitkan dahi. “Maksudnya gimana mas?”
“Kita sama-sama suka kue kelepon karena kita tahu bahwa ia rasanya enak, manis, kenyal dan ada kelapanya. Kemudian kita ungkapkan kesukaan kita terhadap kue kelepon kepada orang lain. Berharap mereka juga bisa merasakan enak dan manisnya kue kelepon... Itulah dakwah. Kita menyampaikan Islam bukan sekeder berpikir bahwa ini adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing dari kita. Melainkan ini adalah sebuah upaya agar orang lain dapat merasakan indahnya syariat Islam dan manisnya ketaatan. Kita sadar berdakwah, berarti setidaknya kita telah sadari betapa Islam ini merupakan sebuah anugerah yang indah. Kemudian tidak cukup sampai di situ, fitrah kita sebagai manusia setidaknya ingin membagi sesuatu yang indah kepada orang lain. Semakin kita menyukai hal tersebut, maka seharusnya semakin banyak alasan yang kita bisa sampaikan kepada orang lain untuk menyukai hal yang sama dengan kita. Seperti halnya kue kelepon tadi. Jika kita tidak memiliki keinginan kuat untuk menyampaikan kesukaan kita dan tidak memiliki banyak alasan mengapa kita suka, berarti ada yang salah dalam kita menyukai hal tersebut. Begitupun dakwah, semakin kita malas menyampaikan kebaikan-kebaikan Islam, berarti ada masalah pada diri kita dalam menyukai Islam. Boleh jadi kita mengaku Islam, tapi tidak menyukainya. Boleh jadi kita mengaku Islam tapi belum berusaha untuk mencari manis dan indahnya ketaatan kepada Allah. Sehingga Islamnya kita... yaa saya kira kita semua sudah mengerti”

Raut wajah adik-adik mencerminkan kepahaman. Alhamdulillah... hal sederhana namun menjadi istimewa. Saya  berpikir, jika selama ini banyak pedagang berkata, “kebutuhan bagimu adalah investasi dan keuntungan bagiku.” Namun dalam konteks tarbiyyah kita bisa mengatakan, “Hal baik dan bermanfaat yang telah kuperbuat padamu, telah menambah catatan pundi-pundi kekayaan amalku, insya Allah... Aamiin.” 

Ellayi la murhansat...


Sabtu, 05 Oktober 2013

Keliru


Sahabat yang disayang Allah, sebuah perbedaaan adalah fitrah. Sedangkan keseimbangan dalam hidup adalah sunatullah. Allah Subhanahu wata’ala  sejak awal Merancang kehidupan, diisi oleh para penghuni yang majemuk dan plural. Dia Memberikan gambaran indah tentang fenomena kemajemukan ini: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. (QS Al Hujurat: 13).
Namun di balik fitrah perbedaan ini, tentu bersemayam persepsi kemanusiaan kita yang terbatas dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu. Persepsi yang boleh jadi menjadikan jurang perbedaan semakin besar. Karena sebagian dari kita terjebak dalam fenomena kekeliruan. Memberikan penilaian yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Atau persepsi yang kita yakini berupa kebaikan sehingga membawa kita berupaya untuk memaparkannya agar layak untuk membuat orang lain mengangguk setuju.
Disadari atau tidak, kekeliruan merupakan subyektivitas penilaian yang terkadang dapat membawa pada sebuah bencana. Kita banyak belajar tentang ekspresi kekeliruan Iblis dari jenak peristiwa yang berasal dari keangkuhannya ketika diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam. Iblis memiliki persepsi bahwa ia lebih mulia dibandingkan Adam. Alasannya, Ia diciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Padahal kita semua fahami pada kenyataannya sekarang, harga tanah lebih mahal dibandingkan harga api. Lantas apa yang membuatnya merasa lebih mulia jika tanah sebenarnya lebih berharga dibadingkan api? Inilah kekuatan persepsi yang mendorong Iblis menjadi angkuh dan sombong, hingga kemudian mendapatkan laknal Allah Azza wa Jalla.
Fenomena kekeliruan pun pernah tergambarkan pada diri sahabat ketika masa Rasulullah Salallahu alayhi wassalam. Saat itu Usamah, seorang pemuda yang diminta menjadi panglima memimpin peperangan, berhasil menjebak seorang musuh bebuyutan di sudut cekung bebatuan. Merasa terjepit seorang diri, tentara musuh itu melakukan segala cara untuk dapat menyelamatkan hidupnya. Tak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk bersyahadat. Kemudian seketika dia bersyahadat secara sempurna: Asyhadu an laillaha illalah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah. Namun Usamah tak bergeming, ia tetap membunuh tentara itu. Kemudian salah seorang sahabat melaporkan hal tersebut kepada nabi, lalu beliau memanggil Usamah dalam keadaan marah. Nabi menanyai Usamah kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usama memberi alasan, orang itu bersyahadat hanya cari selamat karena terdesak, bukan didorong kesadaran. Akhirnya Nabi menyatakan: Nahnu nahkumu bi al-dhawir wallahuyatawallas sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan hanya Allah yang menentukan apa yang ada di dalam bathin seseorang). Akhirnya Usamah bertobat kepada Allah dan menyesali perbuatannya dihadapan Rasulullah.
Dari kedua fenomena kekeliruan ini, terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kekuatan persepsi telah membuat seseorang berani melakukan tindakan yang belum tentu berujung pada kebaikan untuk dirinya. Lihatlah Iblis yang berani menilai Adam dan bertindak untuk menentang Allah. Sedangkan Usamah, dengan persepsi sempit telah mendorong dirinya untuk bertindak membunuh seseorang yang telah bersyahadat. Keduanya mendapat murka. Namun perbedaannya, Usamah setelah menyadari kekeliruannya, ia langsung bertobat kepada Allah, sedangkan Iblis semangkin angkuh dengan kesombongannya.

Entah seberapa sering kita melakukan kekeliruan. Boleh jadi tanpa disadari, kita telah membuat jurang perbedaan itu terlampau besar. Atau mungkin tanpa disadari, sifat Iblis yang sedikit banyak telah mengendap di dalam diri kita. Sehingga menyebabkan lekatnya ukhuwah hanya menempel di ujung lisan. Selebihnya adalah kehampaan rasa akibat ekspresi ukhuwah formal tanpa mengendap pada rongga iman sama sekali. Wajar jika kita lebih senang mengatakan ‘aku benar dan kau salah’, ‘aku lebih baik dan kau lebih buruk’, ‘zamanku lebih baik dari zamanmu’ dan berbagai macam ekspresi lainnya yang tanpa terasa telah mengeraskan hati kecil kita. Sungguh gambaran itu begitu dekat dan akrab. Sadarkah kita mungkin Allah menjadikannya perumpamaan akan ukhuwah kita yang sedang bermasalah? Jika kita tersadar, selanjutnya periksalah iman kita. Boleh jadi, kelalaian kita terhadapnya telah membuat iman kita meredup. Kemudian dengannya kebenaran tidak lagi terbaca...

Jumat, 06 September 2013

FLP Yogyakarta Ikuti MUNAS FLP ke-3 di Bali



Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta berpartisipasi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Ke-3  di Hotel Green Villas, Denpasar, Bali, pada tanggal 29 Agustus sampai dengan 1 September 2013 kemarin. Momentum munas kali ini bukan hanya bertaraf nasional tetapi sudah bertaraf internasional karena dihadiri oleh delegasi dari Saudi Arabia, Hongkong dan Malaysia. Di samping itu, agenda rutin empat tahunan ini terasa istimewa karena dihadiri oleh salah seorang peneliti dari Universitas Hamburg yang sangat tertarik dengan dinamika FLP dan kontribusinya dalam mengembangkan sayap literasi di Indonesia.
Sebanyak 146 orang yang hadir pada Munas sebagai delegasi FLP tingkat wilayah dan cabang di Indonesia. Mereka berasal dari perwakilan Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumetera Barat, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Munas ini diselenggarakan sebagai sarana silaturahim bagi anggota FLP yang berjumlah lebih dari 6000 yang tersebar di berbagai wilayah dan cabang di Indonesia dan mancanegara. Sebagai acara puncak, berupa pemilihan dan peresmian pengurus baru yang akan menjabat untuk periode 2013- 2017 mendatang.
Pembukaan Munas ini dibuka langsung oleh Gubernur Bali yang diwakilkan kepada Ida Bagus Putu Kumara. Ia menuturkan bahwa “penulis adalah sekelompok orang yang benar-benar menikmati hidup.” Hal ini ia sampaikan mengingat kesan beliau yang sangat bagus dengan kiprah FLP selama 16 tahun dan sudah menghasilkan berbagai macam karya fenomenal. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazzy yang telah menjadi mega best seller nasional.
Dalam Munas ke-3 ini, FLP mengusung tema ”Quo vadis Penulis Digital Indonesia”. Dimeriahkan dan dihadiri oleh penulis senior Helvi Tiana Rossa, Gola Gong, Habiburrahman El Shirazzy, Irfan Hidayatullah, Intan Savitri, Oka Rusmini, Afifah Afra dan Sinta Yudisia. Kang Abik (panggilan akrab Habiburrahman El Shirazzy) menuturkan, “ Munas FLP ketiga kali ini dapat menjadi ajang membangun semangat jihad bil qalam sesama penulis dan juga sarana berbagi inspirasi untuk menyebarkan manfaat untuk ummat dengan tulisan-tulisan yang berkualitas.”
“Bagi kami, ini adalah sarana silaturahim para penulis yang insya Allah dapat saling menguatkan dan menopang untuk terus berjuang mencerahkan Indonesia dengan tulisan. Berbakti, Berkarya, Berarti sebagai slogan yang memiliki makna mendalam bagi kami. Berbakti berarti menulis sebagai salah satu bentuk pengabdian kita kepada Allah, kemudian berkarya agar amal nyata kita dapat dirasakan oleh orang-orang sekitar kita,  sehingga dengan berbakti dan berkarya kita dapat menorehkan ‘arti’ di dalam kehidupan ini. " Tutur Solli Murtyas sebagai delegasi sekaligus ketua FLP Wilayah D.I. Yogyakarta.
Di penghujung serangkaian agenda MUNAS FLP ke-3, telah terpilih berdasarkan musyawarah Sinta Yudisia sebagai ketua umum FLP periode 2013-2017. Ia menggantikan Intan Savitri sebagai ketua umum sebelumnya. Di sela-sela pidato perdananya  beliau menuturkan, “Siapapun kita harus siap memimpin, atau memikul amanah seiring usia kedewasaan dan kematangan. Bila semakin bertambah usia kita tidak memasuki tahap keinginan untuk melakukan sesuatu dalam lingkup sosial, berarti ada yang salah dalam perkembangan kepribadian kita. Usia matang ditunjukkan dengan keberanian menghadapi masalah, menghadapi peluang, menghadapi tantangan.” Sinta Yudisia adalah seorang penulis FLP yang produktif, beberapa buku yang telah terbit adalah The Road to the Empire, Rinai, Takhta Awan, Rose, Lafaz Cinta, dan yang terbarunya adalah Kitab Cinta dan Patah Hati. (sdm)

Miss World dan Ambiguitas Peran Wanita


Perhelatan ajang Miss World yang diselenggarakan pada 4-6 September 2013 di Jakarta dan Bali menghadirkan sebuah fenomena unik di kalangan masyarakat kita. Pro dan kontra mewarnai acara yang kabarnya dihadiri oleh 130 perwakilan negara dari penjuru dunia. Pihak penyelenggara mengklaim ajang tersebut tidak akan ada sesi bikini sebagai sarana untuk mengeksploitasi kaum hawa dan tidak ada aktivitas yang melanggar koridor nilai dan budaya timur.
Beberapa pihak yang menyatakan dukungannya beranggapan bahwa ajang ini dapat memberikan citra Indonesia yang lebih baik serta meningkatkan promosi wisata Indonesia agar dapat berkontribusi dalam meningkatkan taraf ekonomi bagi masyarakat. Bahkan bagi beberapa pihak yang terlibat menilai bahwa ajang ini merupakan wujud kepercayaan dunia kepada Indonesia untuk menyelenggarakan kontes kecantikan sejagat tersebut. Ini merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki kualitas dan dianggap baik.
Di sisi lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap tegas menolak kontes Miss World yang diadakan di Indonesia. Meskipun pihak penyelenggara menegaskan tidak ada sesi bikini dalam serangkaian acaranya. Latar belakang penolakan MUI memiliki landasan Al Quran dan hadits serta norma masyarakat kita. Mereka berpendapat bahwa sepanjang sejarah kontes kecantikan itu selalu mempertontonkan kemolekan tubuh secara fisik. Selain itu, MUI menilai bahwa ajang ini tidak sesuai dengan budaya bangsa karena menonjolkan kemewahan dan hura-hura. Alasan ini didukung oleh setidaknya 15 ormas di Indonesia.
Fenomena ini sedikit banyak memberikan refleksi terkati sebuah fenomena dualisme nilai budaya yang kita anut, khususnya terkait penghargaan terkait kaum hawa. Ajang ini secara tidak langsung menjadi indikator betapa sebagian besar masyarakat kita masih ambigu mengartikan harga dan peran wanita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di satu sisi, kita masih menganggap bahwa wanita bukan hanya sekedar memiliki tanggungjawab biologis berupa tuntutan untuk melahirkan, mengasuh anak, mengurus rumah dan keluarga. Lebih dari itu, mereka adalah ibu bangsa. Kodrat dan kemuliaan wanita tidak seledar disejajarkan dengan kebebasan dan sanjungan. Namun seiring berjalannya waktu, pemahaman terhadap wanita tanpa sadar telah bergeser. Secara perlahan wanita dipisahkan dari tanggungjawab sebagai ibu bangsa. Ia telah dipisahkan dan dikorbankan untuk mengisi perut dan kesenangan sebagian besar pihak yang menjadikannya sebagai aset materialisme. Sehingga peran wanita bukan lagi sebagai ibu bangsa, namun lebih kepada sebagai aset fisik semata. Perannya sebagai morality support berubah menjadi materialism support. Ajang ini menjadi sebuah representasi fenomena pandangan dan penghargaan wanita di negara kita sudah bergeser menjadi pandangan yang bersifat materialisme dibandingkan moralitas.
Akibat dari dualisme ini, akan menyebabkan semakin minim peran wanita dalam proses konstruksi sosial. Pandangan materialisme yang menjangkiti mereka menuntut untuk mereka lebih mementingkan individu dibandingkan sosial. Lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdandan di depan cermin dan memoles fisik. Dengan kondisi ini, boleh jadi dalam beberapa waktu ke depan wanita lebih senang disanjung atas kecantikan dibandingkan perannya di dalam masyarakat. Akibatnya, wanita kita terancam beralih peran menjadi sekedar perhiasan biologis yang hanya terpampang pada etalase orang-orang materialistik yang bebas dinikmati oleh siapapun. Dibandingkan menjadi ibu negara yang menjadi penopang moralitas, penentram hati dan pembina bangsa berbasis pada lingkungan terkecil berupa keluarga.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Allah Menyadarkanku




Allah Menyadarkanku
Tentang sesuatu
Di dunia yang penuh tipu
Ada yang mendekat dan ada yang berlalu
Anugerah terindah dunia menghampiriku
Seketika kaki-tangan menjadi beku
Detak hati tak menentu
Menghempas jiwa setengah pilu

Duhai diriku yang berdebu
Mengapa ruang hati begitu tabu
Mengharap rindu untuk bertemu dan bersatu
Ternyata kehedak-Nya seakan memintaku
Untuk terus sabar menunggu
Untuk membersihkan hati yang penuh debu
Sambil mengumpulkan energi jiwa yang baru
Agar bisa berlari menuju Cinta-Mu 
Bukan siapa-siapa aku dihadap-Mu
Hanya kepada-Mu, tempat kembaliku...

24/08/2013
-Saif Fatan- 

original picture at http://saydha.files.wordpress.com/2011/11/sujud.jpg

Kamis, 22 Agustus 2013

Memilih untuk Bernafas Bersama Cinta-Nya


Saya mencoba mengawali bagian ini dengan sebuah kisah yang dituliskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam bukunya Raudhah al-Muhibbin wa nuzhah al-Musyaqi:

“Suatu ketika ada seorang lelaki penjual daging yang jatuh cinta kepada seorang wanita yang juga tetangganya sendiri. Pada suatu hari wanita tersebut pergi ke pasar untuk membeli daging dan kebetulan ia membeli daging pada tetangganya tersebut. Setelah membeli daging wanita tersebut pulang dan lelaki (penjual daging) mengikuti wanita ini. Dalam perjalanan, disuatu tempat yang sepi, sang lelaki (penjual daging) mengungkapkan rasa cintanya kepada sang wanita dengan rayuan dan gombalan untuk menarik hati sang wanita. Kemudian sang wanita membalas ungkapan cinta lelaki tersebut, aku lebih mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, tetapi aku lebih takut kepada Allah..."

Kisah sederhana ini menjadi awalan yang bagus sebelum kita menyelam lebih jauh untuk merenungi makna yang dalam tentang cinta dan memilih jalan untuk bernafas bersama cinta yang Allah Ta’ala anugerahkan untuk kita. Karena mungkin bagi sebagian besar kalangan, energi cinta ini terlampau besar hingga membuat mereka tak mampu mengendalikannya hingga kemudian terjerumus dalam sebuah lubang hina yang menistakan. Mereka tertawan nafsu yang mengatasnamakan cinta hingga tanpa sadar ia tergiring ke dalam jurang kebinasaan. Na’udzubillahi min dzalik...

Kita belajar banyak dari kisah di atas betapa sang wanita mampu mengendalikan gelora cinta yang bersemayam di dalam dirinya. Walau ia menyadari bahwa cinta yang dirasakan mendorong dirinya untuk dapat mengungkapkan kejujuran bahwa ia pun mencintai sang penjual daging. Namun karena kekuatan iman yang terhujam kuat, ia mampu mengatakan: Aku lebih mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, tetapi aku lebih takut kepada Allah... 

Hidup ini adalah sebuah hamparan pilihan. Termasuk di dalamnya meletakkan cinta. Seperti halnya ketika kita berikhtiar untuk bangun pada malam hari untuk solat tahajjud, kemudian Allah memberikan kesempatan kita untuk menunaikannya. Ternyata ketika dalam proses menunaikannya terhampar berbagai pilihan seperti membaca surat yang panjang atau pendek, jumlah rakaat yang ingin ditunaikan serta doa yang ingin kita panjatkan. Semuanya baik, namun tentunya kita menginginkan pilihan terbaik. Begitupun ketika kita berbicara tentang cinta, tentunya kita harus meletakkan di tempat yang terbaik. 

Sikap ini adalah pilihan terbaik yang dipilih oleh sang wanita, karena ia memilihnya dengan iman. Dengan itu, hatinya meyakini bahwa tidak ada yang lebih baik dari kebahagiaan jiwa yang bertudung cinta berlandaskan iman. Bukan hawa nafsu atau kekaguman sesaat saja. Bahkan di dalam Al Quran yang mulia, Allah Ta’ala menggambarkan hal yang serupa pada kisah Nabi Yusuf alayhissalam:

Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, ‘marilah mendekat kepadaku’. Yusuf berkata, ‘aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang zalim itu tidak akan beruntung. Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, kami palingkan darinya keburkan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (Q.S. Yusuf: 23-24)

Di dalam situasi yang sama dengan kisah yang pertama, ternyata gelombang nafsu yang bersiap menerjang ketulusan cinta Nabi Yusuf alayhissalam terhadap Rabbnya tak mampu menghempaskan walau sempat sedikit menggoyahkan dirinya. Dengan kecantikan yang sempat membuat beliau ‘terkesima’ namun segera diingatkan oleh Allah dan akhirnya terhindar dari kehinaan dan perbuatan keji. 

Memilih untuk bernafas bersama cinta-Nya adalah jalan hidup terbaik. Sadarkan diri kita bahwa sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pecinta kepada yang dicintainya. Oleh karena itulah, cinta membuat kita untuk terus begerak dengan energi jiwa yang membuncah. Jikalau kita mencintai sesuatu yang tak pantas untuk dicinta atau bahkan mencurahkan kecintaan kita pada kehinaan, maka potensi energi jiwa ini hanya akan terbuang sia-sia dan hanya berujung pada hampanya jiwa. Karena ia tidak terisi dengan sesuatu yang mampu memenuhi setiap rongga hati yang murni. Padahal apa yang dicintai oleh seorang pecinta adalah sebentuk harapan besar. Sehingga satu-satunya jalan untuk kita mampu menyeimbangkan energi yang besar adalah dengan cara menyandarkannya pada sesuatu yang pantas disandarkan untuk harapan yang besar. Kemudian yang jadi pertanyaan sekarang, jika hati kita meyakini tidak ada yang mampu melakukan itu kecuali Allah. Mengapa kita masih mencari sandaran cinta kepada selain-Nya? 

Banguntapan, 22 Agustus 2013


*original picture at http://i1.sndcdn.com/artworks-000029276002-mdcq1i-original.jpg?5ffe3cd

Rabu, 21 Agustus 2013

Menjadi Pecinta yang Dicinta





Cinta itu membuat  engkau buta
akan cela yang dicinta
dan engkau rela
pada apapun keadaannya
cinta itu ketika menghujam
membuatmu siap berkorban
untuk yang dicinta

-Ibnul Qayyim Al Jauziyah-

           Menjadi seorang pecinta berarti merelakan dirinya menjadi buta akan segala macam celah dan kekurangan yang melekat pada diri yang dicintainya. Bagaimanapun kondisinya, cinta terkadang menjadi candu pemakluman atas kekecewaan yang sebenarnya hadir ketika melihat yang dicinta tidak sesuai dengan harapan. Cinta menjadi energi ketika jiwa terkungkung oleh kelemahan dan kepayahan. Cintalah yang menjadi alasan para pejuang untuk dapat ‘menari’ di ujung keterbatasan, cintalah yang menjadi alasan para syuhada tetap merekahkan senyum di tengah darah dan air mata yang terus mengalir. 

Bagi seorang pecinta, memilih untuk mencinta adalah wujud kesadaran dari sebuah nurani dan jiwa yang hidup. Lebih dalam lagi, ia menemukan Allah dalam proses menumbuhkan cinta sehingga ia berjalan dengan kerangka iman yang kokoh. Baginya cinta bukan menuntut apa yang dicintai untuk berada dalam kondisi agar tetap menjadi yang dicinta. Tetapi sebaliknya, ia lebih menuntut untuk dapat memberi cinta walau bagaimanapun kondisi yang dicinta. Bukan karena keterpaksaan, melainkan cintanya pada Allah membuatnya belajar mengeja kekurangan menjadi satu kebaikan dan keberkahan. Oleh karena itu, Allah menganugerahkan padanya sebuah rasa nikmatnya mencinta. 

Bukan kita mencintai kekurangan dan keterbatasan sebenarnya. Namun kita mencintai cara kita untuk menyikapi kekurangan dan keterbatasan yang kita temukan jika itu melekat pada diri yang dicintai. Karena iman menyadarkan kita bahwa cinta adalah kesungguhan untuk menciptakan keseimbangan jiwa menyikapi ketidaksempurnaan kita sebagai manusia.

Tugas para pecinta hanyalah memberi cinta. Perkara ada orang yang meresponnya dengan baik, berarti itu merupakan amanah Allah kepada kita untuk menjaga aliran energi cinta untuk tetap berada di dalam dirinya. Jika sebaliknya, berarti Allah Ta’ala mempersiapkan kita untuk dapat memancarkan energi cinta dengan lebih besar. Itulah wujud kelezatan nurani yang pernah dirasakan Bilal ketika ia berucap “Ahad... Ahad... Ahad” di tengah siksa yang berkecamuk, atau Umar dengan peluhnya mengangkat sekarung gandum yang ia antarkan kepada rakyatnya yang kelaparan, atau Sayyid Quthb di saat sebelum ia tergantung karena hukuman mati. Sungguh, jika engkau ingin menjadi seorang pencinta yang dicinta. Kelezatan nurani ini yang akan membuat para pecinta dunia yang fana menjadi iri dan ingin merampasnya dengan segala cara.[]


Senin, 19 Agustus 2013

Sekedar Puisi...

Dan Kita pun Selalu Begitu...




Dan kita pun selalu begitu...
Menangisi dan mengutuki kegelapan yang hadir atas kehendak-Nya
Hingga mungkin akhirnya terlupa...
Untuk menyempatkan jenak waktu yang kita miliki sedikit saja
Menengok dan memperbaiki kondisi iman kita yang ringkih
Menatap kenyataan yang bukan berada di pihak kita
Menyikapi kenyataan yang tanpa sadar
Menggiring kita pada keingkaran hati
Karena menganggap telah ditinggalkan-Nya
Padahal...
Bukankah Allah adalah Maha Pembela,
dan akan senantiasa berpihak pada orang-orang memiliki iman?


Dan kita pun selalu begitu...
Mengoleksi berbagai macam kemakluman atas kedzaliman  
dengan kata-kata memalukan:
“mereka bukan bangsa kita!”
“mereka bukan kelompok kita... mereka bukan siapa-siapa kita!”
Atau dalam argumen yang dianggap ilmiah namun sejatinya mengkebiri nurani:
“Itu tidak cocok dengan dalil saya!”
“Itu tidak sesuai dengan analisis dan fakta yang saya punya!”
“Itu hanya fenomena pergulatan kepentingan kekuasaan segelintir kelompok saja!”
Padahal...
Tidak ada satupun dari kata-kata itu
Membahas kemungkaran yang seharusnya bertanggungjawab
Atas hilangnya ribuan nyawa

Dan kita pun selalu begitu...
Berdebat memperjuangkan ide dan gagasan
Berdebat mendefinisikan gelap
Sampai-sampai berani mengklaim cahaya gemerlap
Hingga itu semua membuat kita terlena
Padahal...
Orang-orang nista di luar sana
Beringas membantai saudara-saudara kita!
Setiap sendi dan ruas tubuh umat ini tak berkutik
Sementara bius perdebatan panjang itu
Membawa kita pada kondisi berlelah tanpa makna
Hingga akhirnya tumbang tanpa upaya

Dan kita pun selalu begitu...
Senang menebar cinta-empatik yang formalitas
Senyuman dan simpatik seakan sudah cukup mendapatkan Surga
Merasa telah melakukan sesuatu
Merasa telah berkontribusi banyak
Merasa telah berbuat yang terbaik
Padahal...
Allah Maha Mengetahui segala isi hati
Dan Dia-lah satu-satunya yang berhak menilai amal dan kontribusi kita
Bukan mereka...


Dan kita pun selalu begitu...

Astagfirullahaladzim...

Banguntapan, 19 Agustus 2013
Solli Murtyas

Sabtu, 10 Agustus 2013


Bersama teman-teman dari Saudi Arabia-Omar Muhammed, Serbia-Alexander Matic, Indonesia-Afif Muttaqin 

Tempat ini mengingatkan saya...


-Waterville Valley, NH-
Musim dingin, 17 Maret 2007

Sebuah tempat bersejarah di dalam hidup saya karena ia menjadi saksi jatuh bangun saya menaklukan gunung untuk dapat meluncur dengan ski. Berada di tempat ketinggian yang membuat hati tidak mampu untuk menahan ketakjuban akan 'lukisan Allah' yang sangat... sangat.... sangat indah. Entah apa alasan saya, namun ini tempat yang saya anggap paling indah yang saya temukan di sepanjang hidup saya sampai saat ini.  

Senin, 29 Juli 2013

Jiwa yang Lupa



Ada satu nasihat berharga yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam buku beliau berjudul Shaidul Khatir terkait sebuah fenomena jiwa yang lupa, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai. 
Teguran itu menyesakkan. Namun cobalah sedikit saja kita merenungi betapa berharganya sebuah teguran. Karena sejatinya, ia adalah sebuah pengingat bagi jiwa yang lupa. Hanya jiwa yang nyaman dengan kelalaian yang mungkin akan menganggap bahwa teguran itu menyesakkan. Karena ia tidak menyadari bahwa dirinya berada di ujung jurang kebekuan hati. Ia merasa aman dari dosa hingga kepekaan jiwa akan kemaksiatan yang telah dilakukan tidak membuatnya menyesal. Sekecil apapun dosa itu.
Setiap jenak rasa di dalam cuplikan hidup ini adalah teguran dari Allah. Ia hadir berupa kesulitan, kemudahan, kelapangan dan kekecewaan. Hanya saja, hati kita terlalu kaku untuk menganggapnya sebuah teguran. Sehingga terkadang kita terlalu larut dalam sebuah rasa hingga kemudian tidak menyadari bahwa tujuan Allah memberikan ini semua hanyalah untuk menjaga kita agar tidak menjadi jiwa yang lupa. Meskipun lupa adalah fitrah, namun membiarkan jiwa yang lupa ialah membiarkan hati tidak merasakan kepekaan atas dosa dan kelalaian. Betapa meruginya, ketika hati ini tidak dapat merasakan manisnya mengerjakan kebaikan dan sengsaranya mengerjakan dosa. Secara fisik ia adalah tubuh yang sehat, namun di dalamnya terdapat jiwa yang merana dan hati yang tidak peka.
Di penghujung Ramadhan ini, tentunya berbagai cuplikan hidup Allah hadirkan di dalam hidup kita. Dari momen yang sangat membahagiakan berupa kesempatan-kesempatan untuk kita dapat menunaikan ibadah-ibadah untuk mengisi bulan ini dengan sebaik-baiknya, berinteraksi dengan sesama mukmin atas nama ukhuwah, menjalankan agenda buka puasa bersama kaum dhuafa, yatim dan anak jalanan, bercengkrama dengan keluarga. Sampai momen yang memilukan berupa kabar saudara kita yang berpeluh di Mesir memperjuangkan hak kedaulatan politk mereka, perjuangan mukmin Palestine untuk tanah Al Aqsa, pergulatan panas di Suriah yang masih terus berlangsung sampai sekarang.
Namun, sadarkah bahwa kita dalam keadaan ini, bukan hanya sekedar menjadi pengamat, penonton atau bahkan penikmat saja. Ini adalah teguran bagi kita untuk tidak menjadi jiwa yang lupa bahwa setiap mukmin adalah saudara. Ini adalah sebuah teguran bagi kita agar kita tersadar bahwa masih banyak orang di luar sana yang tidak ingin Islam tegak dengan segala konsekuensinya. Ini adalah sebuah teguran bagi kita agar kita tersadar bahwa seharusnya kita bersyukur dengan kondisi kita yang jauh dari kemelaratan, kesulitan dan kesempitan dalam menjalankan ibadah-ibadah kita dibandingkan saudara kita di sana. Ini adalah sebuah teguran bagi kita agar setiap kita memahami bahwa Allah menginginkan dien ini ditegakkan atas dasar perjuangan dan pengorbanan.
Sayangnya kita lebih sering lupa dari pada ingat. Sehingga ruang jiwa hanya menjadi hampa sekalipun teguran datang menyapa...