Sabtu, 24 Agustus 2013

Allah Menyadarkanku




Allah Menyadarkanku
Tentang sesuatu
Di dunia yang penuh tipu
Ada yang mendekat dan ada yang berlalu
Anugerah terindah dunia menghampiriku
Seketika kaki-tangan menjadi beku
Detak hati tak menentu
Menghempas jiwa setengah pilu

Duhai diriku yang berdebu
Mengapa ruang hati begitu tabu
Mengharap rindu untuk bertemu dan bersatu
Ternyata kehedak-Nya seakan memintaku
Untuk terus sabar menunggu
Untuk membersihkan hati yang penuh debu
Sambil mengumpulkan energi jiwa yang baru
Agar bisa berlari menuju Cinta-Mu 
Bukan siapa-siapa aku dihadap-Mu
Hanya kepada-Mu, tempat kembaliku...

24/08/2013
-Saif Fatan- 

original picture at http://saydha.files.wordpress.com/2011/11/sujud.jpg

Kamis, 22 Agustus 2013

Memilih untuk Bernafas Bersama Cinta-Nya


Saya mencoba mengawali bagian ini dengan sebuah kisah yang dituliskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam bukunya Raudhah al-Muhibbin wa nuzhah al-Musyaqi:

“Suatu ketika ada seorang lelaki penjual daging yang jatuh cinta kepada seorang wanita yang juga tetangganya sendiri. Pada suatu hari wanita tersebut pergi ke pasar untuk membeli daging dan kebetulan ia membeli daging pada tetangganya tersebut. Setelah membeli daging wanita tersebut pulang dan lelaki (penjual daging) mengikuti wanita ini. Dalam perjalanan, disuatu tempat yang sepi, sang lelaki (penjual daging) mengungkapkan rasa cintanya kepada sang wanita dengan rayuan dan gombalan untuk menarik hati sang wanita. Kemudian sang wanita membalas ungkapan cinta lelaki tersebut, aku lebih mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, tetapi aku lebih takut kepada Allah..."

Kisah sederhana ini menjadi awalan yang bagus sebelum kita menyelam lebih jauh untuk merenungi makna yang dalam tentang cinta dan memilih jalan untuk bernafas bersama cinta yang Allah Ta’ala anugerahkan untuk kita. Karena mungkin bagi sebagian besar kalangan, energi cinta ini terlampau besar hingga membuat mereka tak mampu mengendalikannya hingga kemudian terjerumus dalam sebuah lubang hina yang menistakan. Mereka tertawan nafsu yang mengatasnamakan cinta hingga tanpa sadar ia tergiring ke dalam jurang kebinasaan. Na’udzubillahi min dzalik...

Kita belajar banyak dari kisah di atas betapa sang wanita mampu mengendalikan gelora cinta yang bersemayam di dalam dirinya. Walau ia menyadari bahwa cinta yang dirasakan mendorong dirinya untuk dapat mengungkapkan kejujuran bahwa ia pun mencintai sang penjual daging. Namun karena kekuatan iman yang terhujam kuat, ia mampu mengatakan: Aku lebih mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, tetapi aku lebih takut kepada Allah... 

Hidup ini adalah sebuah hamparan pilihan. Termasuk di dalamnya meletakkan cinta. Seperti halnya ketika kita berikhtiar untuk bangun pada malam hari untuk solat tahajjud, kemudian Allah memberikan kesempatan kita untuk menunaikannya. Ternyata ketika dalam proses menunaikannya terhampar berbagai pilihan seperti membaca surat yang panjang atau pendek, jumlah rakaat yang ingin ditunaikan serta doa yang ingin kita panjatkan. Semuanya baik, namun tentunya kita menginginkan pilihan terbaik. Begitupun ketika kita berbicara tentang cinta, tentunya kita harus meletakkan di tempat yang terbaik. 

Sikap ini adalah pilihan terbaik yang dipilih oleh sang wanita, karena ia memilihnya dengan iman. Dengan itu, hatinya meyakini bahwa tidak ada yang lebih baik dari kebahagiaan jiwa yang bertudung cinta berlandaskan iman. Bukan hawa nafsu atau kekaguman sesaat saja. Bahkan di dalam Al Quran yang mulia, Allah Ta’ala menggambarkan hal yang serupa pada kisah Nabi Yusuf alayhissalam:

Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, ‘marilah mendekat kepadaku’. Yusuf berkata, ‘aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang zalim itu tidak akan beruntung. Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, kami palingkan darinya keburkan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (Q.S. Yusuf: 23-24)

Di dalam situasi yang sama dengan kisah yang pertama, ternyata gelombang nafsu yang bersiap menerjang ketulusan cinta Nabi Yusuf alayhissalam terhadap Rabbnya tak mampu menghempaskan walau sempat sedikit menggoyahkan dirinya. Dengan kecantikan yang sempat membuat beliau ‘terkesima’ namun segera diingatkan oleh Allah dan akhirnya terhindar dari kehinaan dan perbuatan keji. 

Memilih untuk bernafas bersama cinta-Nya adalah jalan hidup terbaik. Sadarkan diri kita bahwa sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pecinta kepada yang dicintainya. Oleh karena itulah, cinta membuat kita untuk terus begerak dengan energi jiwa yang membuncah. Jikalau kita mencintai sesuatu yang tak pantas untuk dicinta atau bahkan mencurahkan kecintaan kita pada kehinaan, maka potensi energi jiwa ini hanya akan terbuang sia-sia dan hanya berujung pada hampanya jiwa. Karena ia tidak terisi dengan sesuatu yang mampu memenuhi setiap rongga hati yang murni. Padahal apa yang dicintai oleh seorang pecinta adalah sebentuk harapan besar. Sehingga satu-satunya jalan untuk kita mampu menyeimbangkan energi yang besar adalah dengan cara menyandarkannya pada sesuatu yang pantas disandarkan untuk harapan yang besar. Kemudian yang jadi pertanyaan sekarang, jika hati kita meyakini tidak ada yang mampu melakukan itu kecuali Allah. Mengapa kita masih mencari sandaran cinta kepada selain-Nya? 

Banguntapan, 22 Agustus 2013


*original picture at http://i1.sndcdn.com/artworks-000029276002-mdcq1i-original.jpg?5ffe3cd

Rabu, 21 Agustus 2013

Menjadi Pecinta yang Dicinta





Cinta itu membuat  engkau buta
akan cela yang dicinta
dan engkau rela
pada apapun keadaannya
cinta itu ketika menghujam
membuatmu siap berkorban
untuk yang dicinta

-Ibnul Qayyim Al Jauziyah-

           Menjadi seorang pecinta berarti merelakan dirinya menjadi buta akan segala macam celah dan kekurangan yang melekat pada diri yang dicintainya. Bagaimanapun kondisinya, cinta terkadang menjadi candu pemakluman atas kekecewaan yang sebenarnya hadir ketika melihat yang dicinta tidak sesuai dengan harapan. Cinta menjadi energi ketika jiwa terkungkung oleh kelemahan dan kepayahan. Cintalah yang menjadi alasan para pejuang untuk dapat ‘menari’ di ujung keterbatasan, cintalah yang menjadi alasan para syuhada tetap merekahkan senyum di tengah darah dan air mata yang terus mengalir. 

Bagi seorang pecinta, memilih untuk mencinta adalah wujud kesadaran dari sebuah nurani dan jiwa yang hidup. Lebih dalam lagi, ia menemukan Allah dalam proses menumbuhkan cinta sehingga ia berjalan dengan kerangka iman yang kokoh. Baginya cinta bukan menuntut apa yang dicintai untuk berada dalam kondisi agar tetap menjadi yang dicinta. Tetapi sebaliknya, ia lebih menuntut untuk dapat memberi cinta walau bagaimanapun kondisi yang dicinta. Bukan karena keterpaksaan, melainkan cintanya pada Allah membuatnya belajar mengeja kekurangan menjadi satu kebaikan dan keberkahan. Oleh karena itu, Allah menganugerahkan padanya sebuah rasa nikmatnya mencinta. 

Bukan kita mencintai kekurangan dan keterbatasan sebenarnya. Namun kita mencintai cara kita untuk menyikapi kekurangan dan keterbatasan yang kita temukan jika itu melekat pada diri yang dicintai. Karena iman menyadarkan kita bahwa cinta adalah kesungguhan untuk menciptakan keseimbangan jiwa menyikapi ketidaksempurnaan kita sebagai manusia.

Tugas para pecinta hanyalah memberi cinta. Perkara ada orang yang meresponnya dengan baik, berarti itu merupakan amanah Allah kepada kita untuk menjaga aliran energi cinta untuk tetap berada di dalam dirinya. Jika sebaliknya, berarti Allah Ta’ala mempersiapkan kita untuk dapat memancarkan energi cinta dengan lebih besar. Itulah wujud kelezatan nurani yang pernah dirasakan Bilal ketika ia berucap “Ahad... Ahad... Ahad” di tengah siksa yang berkecamuk, atau Umar dengan peluhnya mengangkat sekarung gandum yang ia antarkan kepada rakyatnya yang kelaparan, atau Sayyid Quthb di saat sebelum ia tergantung karena hukuman mati. Sungguh, jika engkau ingin menjadi seorang pencinta yang dicinta. Kelezatan nurani ini yang akan membuat para pecinta dunia yang fana menjadi iri dan ingin merampasnya dengan segala cara.[]


Senin, 19 Agustus 2013

Sekedar Puisi...

Dan Kita pun Selalu Begitu...




Dan kita pun selalu begitu...
Menangisi dan mengutuki kegelapan yang hadir atas kehendak-Nya
Hingga mungkin akhirnya terlupa...
Untuk menyempatkan jenak waktu yang kita miliki sedikit saja
Menengok dan memperbaiki kondisi iman kita yang ringkih
Menatap kenyataan yang bukan berada di pihak kita
Menyikapi kenyataan yang tanpa sadar
Menggiring kita pada keingkaran hati
Karena menganggap telah ditinggalkan-Nya
Padahal...
Bukankah Allah adalah Maha Pembela,
dan akan senantiasa berpihak pada orang-orang memiliki iman?


Dan kita pun selalu begitu...
Mengoleksi berbagai macam kemakluman atas kedzaliman  
dengan kata-kata memalukan:
“mereka bukan bangsa kita!”
“mereka bukan kelompok kita... mereka bukan siapa-siapa kita!”
Atau dalam argumen yang dianggap ilmiah namun sejatinya mengkebiri nurani:
“Itu tidak cocok dengan dalil saya!”
“Itu tidak sesuai dengan analisis dan fakta yang saya punya!”
“Itu hanya fenomena pergulatan kepentingan kekuasaan segelintir kelompok saja!”
Padahal...
Tidak ada satupun dari kata-kata itu
Membahas kemungkaran yang seharusnya bertanggungjawab
Atas hilangnya ribuan nyawa

Dan kita pun selalu begitu...
Berdebat memperjuangkan ide dan gagasan
Berdebat mendefinisikan gelap
Sampai-sampai berani mengklaim cahaya gemerlap
Hingga itu semua membuat kita terlena
Padahal...
Orang-orang nista di luar sana
Beringas membantai saudara-saudara kita!
Setiap sendi dan ruas tubuh umat ini tak berkutik
Sementara bius perdebatan panjang itu
Membawa kita pada kondisi berlelah tanpa makna
Hingga akhirnya tumbang tanpa upaya

Dan kita pun selalu begitu...
Senang menebar cinta-empatik yang formalitas
Senyuman dan simpatik seakan sudah cukup mendapatkan Surga
Merasa telah melakukan sesuatu
Merasa telah berkontribusi banyak
Merasa telah berbuat yang terbaik
Padahal...
Allah Maha Mengetahui segala isi hati
Dan Dia-lah satu-satunya yang berhak menilai amal dan kontribusi kita
Bukan mereka...


Dan kita pun selalu begitu...

Astagfirullahaladzim...

Banguntapan, 19 Agustus 2013
Solli Murtyas

Sabtu, 10 Agustus 2013


Bersama teman-teman dari Saudi Arabia-Omar Muhammed, Serbia-Alexander Matic, Indonesia-Afif Muttaqin 

Tempat ini mengingatkan saya...


-Waterville Valley, NH-
Musim dingin, 17 Maret 2007

Sebuah tempat bersejarah di dalam hidup saya karena ia menjadi saksi jatuh bangun saya menaklukan gunung untuk dapat meluncur dengan ski. Berada di tempat ketinggian yang membuat hati tidak mampu untuk menahan ketakjuban akan 'lukisan Allah' yang sangat... sangat.... sangat indah. Entah apa alasan saya, namun ini tempat yang saya anggap paling indah yang saya temukan di sepanjang hidup saya sampai saat ini.