Jumat, 06 September 2013

FLP Yogyakarta Ikuti MUNAS FLP ke-3 di Bali



Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta berpartisipasi dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Ke-3  di Hotel Green Villas, Denpasar, Bali, pada tanggal 29 Agustus sampai dengan 1 September 2013 kemarin. Momentum munas kali ini bukan hanya bertaraf nasional tetapi sudah bertaraf internasional karena dihadiri oleh delegasi dari Saudi Arabia, Hongkong dan Malaysia. Di samping itu, agenda rutin empat tahunan ini terasa istimewa karena dihadiri oleh salah seorang peneliti dari Universitas Hamburg yang sangat tertarik dengan dinamika FLP dan kontribusinya dalam mengembangkan sayap literasi di Indonesia.
Sebanyak 146 orang yang hadir pada Munas sebagai delegasi FLP tingkat wilayah dan cabang di Indonesia. Mereka berasal dari perwakilan Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumetera Barat, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Munas ini diselenggarakan sebagai sarana silaturahim bagi anggota FLP yang berjumlah lebih dari 6000 yang tersebar di berbagai wilayah dan cabang di Indonesia dan mancanegara. Sebagai acara puncak, berupa pemilihan dan peresmian pengurus baru yang akan menjabat untuk periode 2013- 2017 mendatang.
Pembukaan Munas ini dibuka langsung oleh Gubernur Bali yang diwakilkan kepada Ida Bagus Putu Kumara. Ia menuturkan bahwa “penulis adalah sekelompok orang yang benar-benar menikmati hidup.” Hal ini ia sampaikan mengingat kesan beliau yang sangat bagus dengan kiprah FLP selama 16 tahun dan sudah menghasilkan berbagai macam karya fenomenal. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazzy yang telah menjadi mega best seller nasional.
Dalam Munas ke-3 ini, FLP mengusung tema ”Quo vadis Penulis Digital Indonesia”. Dimeriahkan dan dihadiri oleh penulis senior Helvi Tiana Rossa, Gola Gong, Habiburrahman El Shirazzy, Irfan Hidayatullah, Intan Savitri, Oka Rusmini, Afifah Afra dan Sinta Yudisia. Kang Abik (panggilan akrab Habiburrahman El Shirazzy) menuturkan, “ Munas FLP ketiga kali ini dapat menjadi ajang membangun semangat jihad bil qalam sesama penulis dan juga sarana berbagi inspirasi untuk menyebarkan manfaat untuk ummat dengan tulisan-tulisan yang berkualitas.”
“Bagi kami, ini adalah sarana silaturahim para penulis yang insya Allah dapat saling menguatkan dan menopang untuk terus berjuang mencerahkan Indonesia dengan tulisan. Berbakti, Berkarya, Berarti sebagai slogan yang memiliki makna mendalam bagi kami. Berbakti berarti menulis sebagai salah satu bentuk pengabdian kita kepada Allah, kemudian berkarya agar amal nyata kita dapat dirasakan oleh orang-orang sekitar kita,  sehingga dengan berbakti dan berkarya kita dapat menorehkan ‘arti’ di dalam kehidupan ini. " Tutur Solli Murtyas sebagai delegasi sekaligus ketua FLP Wilayah D.I. Yogyakarta.
Di penghujung serangkaian agenda MUNAS FLP ke-3, telah terpilih berdasarkan musyawarah Sinta Yudisia sebagai ketua umum FLP periode 2013-2017. Ia menggantikan Intan Savitri sebagai ketua umum sebelumnya. Di sela-sela pidato perdananya  beliau menuturkan, “Siapapun kita harus siap memimpin, atau memikul amanah seiring usia kedewasaan dan kematangan. Bila semakin bertambah usia kita tidak memasuki tahap keinginan untuk melakukan sesuatu dalam lingkup sosial, berarti ada yang salah dalam perkembangan kepribadian kita. Usia matang ditunjukkan dengan keberanian menghadapi masalah, menghadapi peluang, menghadapi tantangan.” Sinta Yudisia adalah seorang penulis FLP yang produktif, beberapa buku yang telah terbit adalah The Road to the Empire, Rinai, Takhta Awan, Rose, Lafaz Cinta, dan yang terbarunya adalah Kitab Cinta dan Patah Hati. (sdm)

Miss World dan Ambiguitas Peran Wanita


Perhelatan ajang Miss World yang diselenggarakan pada 4-6 September 2013 di Jakarta dan Bali menghadirkan sebuah fenomena unik di kalangan masyarakat kita. Pro dan kontra mewarnai acara yang kabarnya dihadiri oleh 130 perwakilan negara dari penjuru dunia. Pihak penyelenggara mengklaim ajang tersebut tidak akan ada sesi bikini sebagai sarana untuk mengeksploitasi kaum hawa dan tidak ada aktivitas yang melanggar koridor nilai dan budaya timur.
Beberapa pihak yang menyatakan dukungannya beranggapan bahwa ajang ini dapat memberikan citra Indonesia yang lebih baik serta meningkatkan promosi wisata Indonesia agar dapat berkontribusi dalam meningkatkan taraf ekonomi bagi masyarakat. Bahkan bagi beberapa pihak yang terlibat menilai bahwa ajang ini merupakan wujud kepercayaan dunia kepada Indonesia untuk menyelenggarakan kontes kecantikan sejagat tersebut. Ini merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki kualitas dan dianggap baik.
Di sisi lain Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap tegas menolak kontes Miss World yang diadakan di Indonesia. Meskipun pihak penyelenggara menegaskan tidak ada sesi bikini dalam serangkaian acaranya. Latar belakang penolakan MUI memiliki landasan Al Quran dan hadits serta norma masyarakat kita. Mereka berpendapat bahwa sepanjang sejarah kontes kecantikan itu selalu mempertontonkan kemolekan tubuh secara fisik. Selain itu, MUI menilai bahwa ajang ini tidak sesuai dengan budaya bangsa karena menonjolkan kemewahan dan hura-hura. Alasan ini didukung oleh setidaknya 15 ormas di Indonesia.
Fenomena ini sedikit banyak memberikan refleksi terkati sebuah fenomena dualisme nilai budaya yang kita anut, khususnya terkait penghargaan terkait kaum hawa. Ajang ini secara tidak langsung menjadi indikator betapa sebagian besar masyarakat kita masih ambigu mengartikan harga dan peran wanita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di satu sisi, kita masih menganggap bahwa wanita bukan hanya sekedar memiliki tanggungjawab biologis berupa tuntutan untuk melahirkan, mengasuh anak, mengurus rumah dan keluarga. Lebih dari itu, mereka adalah ibu bangsa. Kodrat dan kemuliaan wanita tidak seledar disejajarkan dengan kebebasan dan sanjungan. Namun seiring berjalannya waktu, pemahaman terhadap wanita tanpa sadar telah bergeser. Secara perlahan wanita dipisahkan dari tanggungjawab sebagai ibu bangsa. Ia telah dipisahkan dan dikorbankan untuk mengisi perut dan kesenangan sebagian besar pihak yang menjadikannya sebagai aset materialisme. Sehingga peran wanita bukan lagi sebagai ibu bangsa, namun lebih kepada sebagai aset fisik semata. Perannya sebagai morality support berubah menjadi materialism support. Ajang ini menjadi sebuah representasi fenomena pandangan dan penghargaan wanita di negara kita sudah bergeser menjadi pandangan yang bersifat materialisme dibandingkan moralitas.
Akibat dari dualisme ini, akan menyebabkan semakin minim peran wanita dalam proses konstruksi sosial. Pandangan materialisme yang menjangkiti mereka menuntut untuk mereka lebih mementingkan individu dibandingkan sosial. Lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdandan di depan cermin dan memoles fisik. Dengan kondisi ini, boleh jadi dalam beberapa waktu ke depan wanita lebih senang disanjung atas kecantikan dibandingkan perannya di dalam masyarakat. Akibatnya, wanita kita terancam beralih peran menjadi sekedar perhiasan biologis yang hanya terpampang pada etalase orang-orang materialistik yang bebas dinikmati oleh siapapun. Dibandingkan menjadi ibu negara yang menjadi penopang moralitas, penentram hati dan pembina bangsa berbasis pada lingkungan terkecil berupa keluarga.