Senin, 11 November 2013

Pahlawan Pena


Kini zaman kian gaduh dengan serbuan kata. Ia menjelma dalam pandangan, pengamatan dan pendapat beragam jenis orang. Pemimpin menyekat keterbatasannya dengan kata. Para bintang menumbuhkan popularitasnya dengan kata. Para tokoh merasa bijaksana dengan cara menggelar pertunjukkan kata-kata. Bahkan banyak orang mengaku pakar dan menganggap tahu akan banyak hal, dengan cara memainkan dan mengolah banyak kata. Alhasil, mungkin fakta tidak lagi dianggap menarik bagi sebagian besar orang. Ilusi kata kini lebih menggoda. Sehingga kita menjadi bangsa yang kenyang dengan kata. Hingga pada akhirnya kita merasa cukup dengan kata tanpa upaya untuk menemukan realita.

Di balik gemuruh manusia menjadikan kata sebagai komoditas. Ternyata ada segilintir dari mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pandangan yang membuatnya dikenang oleh manusia tanpa ia perlu mengolah kata. Tidak bersandar pada kata dan menjadikannya sebagai pijakan untuk menorehkan makna. Hingga kata yang sesungguhnya lahir dari apa yang ia torehkan dalam gelaran sejarah hidupnya. Dia adalah sosok pahlawan. Garis perjuangannya tidak bergantung pada besar kecilnya jumlah kata dimuat agar ia dapat  disebut pahlawan.

Tak perlu banyak retorika kata, Bung Tomo memekikan “Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar, Merdeka!” Sehingga dengannya ia dapat membakar semangat para pemuda dan pemudi untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Kesungguhan dan jihadnya dikenang oleh diorama sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Karya besarnya diiringi dengan kebesaran jiwa dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Sejarah kepahlawan itupun akan terus berlanjut. Bahkan di dalam rentang waktu kehidupan kita saat ini. Tantangan dan cara berjuangnya mungkin berbeda, namun fitrah kepahlawanan akan senantiasa sama, bahwa seorang pahlawan diakui karena karya besarnya. Karya yang bernilai manfaat seluas-luasnya. Karya yang dapat melipatgandakan kebaikan-kebaikan yang dirasakan oleh banyak orang. Karya yang berdampak pada perubahan tatanan kehidupan masyarakat yang carut-marut menjadi santun dan beradab.

   Itulah mengapa makna pahlawan perlu kita luaskan. Bukan sekedar mereka yang makamnya dihiasi dengan topi prajurit. Bukan hanya mereka yang gugur di medan perang atau terbunuh dalam konspirasi melawan penjajah. Namun pahlawan adalah sosok yang berani berjalan dan berjuang di atas koridor kebenaran. Walau di dalamnya terdapat ujian dan hambatan yang tentunya tidak ringan. Ia lebih menyukai berkorban untuk memperjuangkan kebenaran dan kepentingan banyak orang, dibandingkan menghimpun popularitas dan keharuman namanya. Dengan apapun sarana yang mereka punya, orientasi dan tekad berjuang mereka tidak sedikitpun memuai. Dahulu mungkin hanya sebatang bambu runcing, namun sekarang bisa jadi ia menjelma menjadi pena. Bahkan seni dan sastra salah satunya.

Seorang jurnalis terkemuka asal Kolombia Gabriel Marquez mengatakan, “Bangsa yang tidak menghargai sastrawan dan seniman serta mengabaikan tanda-tanda peringatan kebajikan melalui karya seni dan sastra merupakan bangsa yang gagal memaknai jiwa kemanusiaan dan kemerdekaan.” Ungkapan ini menjadi refleksi besar bagi kita sebagai bangsa. Di tengah badai masalah yang datang bertubi-tubi dan tak kunjung selesai. Kita kehilangan orientasi dan prioritas untuk mencipta karya-karya besar yang melahirkan para pahlawan baru. Seperti perahu yang melaut tanpa layar, dan berlabuh tanpa jangkar.  Energi kita sebagai bangsa habis untuk menyelesaikan satu urusan kenegaraan yang tak kunjung selesai. Sedangkan masalah yang lain dianggap tidak penting. Padahal boleh jadi salah satunya merupakan ladang untuk berkarya dan mencetak sejarah kepahlawanan kita. Jika kondisi ini terus berlanjut, jangan-jangan kita akan menjadi bangsa yang buruk rupa, bahkan  buruk rasa...

Jika fakta berbicara demikian. Sungguh betapa memalukan perilaku mereka yang bersembunyi di balik kata. Mendapatkan kursi kepemimpinan, popularitas dan hingar bingar sanjungan banyak orang namun ternyata tak mampu menorehkan karya untuk sejarah kepahlawanan bangsa. Betapa mengenaskan jika kita tak mampu berbuat apa-apa, padahal api keburukan merajalela di sekitar kita. Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah  memberikan gambaran nyata terkait hal ini, “Janganlah kalian meremehkan diri kalian sendiri.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seorang disebut meremehkan dirinya sendiri?” Rasul menjawab, “Jika dia melihat perintah Allah kepadanya yang di dalamnya mengharuskannya bicara, kemudian dia tidak mengatakan apa-apa bahkan berkata: Biarlah Allah yang mengurusnya.” Di akhirat akan dikatakan kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk mengatakan begini dan begitu?” Dia menjawab, “Saya takut pada manusia.” Allah Berfirman, “Akulah yang lebih berhak untuk kamu takuti.”

Menjadi pahlawan pena mungkin tidak memiliki gengsi dibandingkan pahlawan-pahlawan yang lain. Namun jika ia memiliki tekad berkarya dalam koridor kebenaran dan kebaikan untuk banyak orang. Jika dengannya kita dapat membawa masyarakat semakin santun dan beradab dengan karya-karya kita. Mungkin ini menjadi amalan terbaik yang dapat kita banggakan kelak di hari pada saat Allah menimbang segala amalan yang kita lakukan.