Senin, 18 April 2011

Biarkan Ukhuwah Ini Terus Merekah


Tetesan embun pagi tidak dapat mewakili betapa sejuknya ukhuwah orang-orang mukmin yang mengikatkan hatinya hanya kepada Allah. Dalam persaudaran yang berdimensi keimanan, kemudian kebersamaan di atas semangat perjuangan di jalan Allah, akan menjadi rantai penting yang saling menguatkan ketika kita mengarungi derasnya permasalahan dan tantangan hidup di dunia ini.
Ketika zaman menuntut kesatuan dan kebersamaan umat untuk menghadapi fitnah dunia. Biarkanlah setiap hati orang-orang mukmin terus tenggelam dalam samudera keberlimpahan kasih sayang karena Allah. Fitnah dunia kini ibarat musuh-musuh yang siap menerkam dan berebut makanan di atas piring, ironisnya makanan itu sekarang kita. Umat Islam yang hakikatnya segolongan manusia yang dipilih Allah untuk menjadi penebar kemaslahatan di manapun mereka berada. Kaum yang dijamin oleh Allah menjadi pewaris bumi dengan segala amanah dan tanggung jawab besar untuk memberikan yang terbaik untuk siapapun yang mengenalnya.
Berbeda halnya dengan zaman Rasulullah bersama para sahabatnya dahulu, indah dan manisnya buah ukhuwah yang telah terjalin hingga kedudukan seorang saudara bagi saudara lainnya karena Allah menjadi suatu hal yang lebih diutamakan dibandingkan urusan pribadi, sekalipun itu bermaslahat untuk diri mereka sendiri. Karena kebaikan untuk saudara yang lain menjadi pilar pengharapan yang bersendikan kecintaan mereka terhadap orang lain yang seiman melebihi kecintaan mereka terhadap diri sendiri. Inilah nikmat persaudaraan yang begitu indah yang telah Allah anugerahkan kepada generasi terdahulu. Sekali lagi, ini adalah perekatan hati karena Allah, ikatan batin karena keimanan, sehingga kekuatan yang muncul berupa ikatan persaudaran yang kokoh dan persatuan yang nyaris tak bisa digoyahkan.
Kini, biarkan fitrah itu tetap merekah di setiap kita. Fitrah ukhuwah yang terus mengikat hati setiap mukmin dengan simpul terindah. Ikatan hati yang terus kokoh bukan karena keangkuhan diri, juga bukan karena kerasnya hati akibat kesombongan yang terus mengendap di dalamnya. Ukhwah akan terikat indah dengan simpul itsar dan pengorbanan. Itsar dalam hal kebermaslahatan bersama, hingga jalan menuju kebahagiaan dan kebermaknaan hidup tidak kita gapai sendirian, tetapi bersama orang-orang mukmin yang kita cintai. Begitupun pengorbanan yang kita berikan, itulah wujud kesungguhan menggali makna hidup ini. Hingga suatu saat nanti buah dari ini semua adalah ketika kita berangkulan satu sama lain meniti jejak perjuangan menuju Allah.

Fase indahnya simpul ukhuwah yang merekatkan jiwa-jiwa Rabbani, pernah Allah gambarkan di dalam sosok Abdullah bin Mas ’ud radhiallahu anhu. Secarik  kisah indah ini benar-benar menorehkan tinta emas di kalangan para sahabat terdahulu. Sebuah ungkapan dari beliau yang kerap kali disampaikan dalam bentuk satu perkataan hingga nyaris dihafal oleh para sahabatnya. Perkataan itu adalah, ungkapan hatinya kepada sahabat-sahabatnya, “Antum jalaa-u qalbi ”, kalian adalah penyejuk hatiku. Indah dan menyentuh sekali kata-kata Abdullah bin Mas ’ud radhiallahu anhu. Beliau adalah sahabat yang disebut Rasulullah saw, sangat memahami Al Quranul Karim. Tapi di sisi lain beliau begitu cerdas menempatkan dirinya dalam ruang kenyamanan hati setiap sahabat yang ditemui. Ruang itu telah terisi oleh cahaya yang memancarkan rasa kagum dan memiliki daya sentuh yang mencerahkan pikiran dan membuka hati para sahabat ketika itu.
Biarkanlah bulir-bulir kisah indah itu terus mengendap di setiap jiwa kita yang memang butuh banyak penyejuk di tengah kehampaan batin yang kerap kali singgah di hati akibat dosa yang telah bertumpuk padu bersama kelalaian-kelalaian kita terhadap saudara seiman. Saatnya kita menata hati ini, karena satu hal yang sering kita lupa bahwa dalam dakwah kita juga berbicara tentang makna dan rasa...

Jumat, 15 April 2011

PILAR INDAH SEBUAH KEPEMIMPINAN RABBANI




Sejenak mari kita merenung dan membayangkan jenak-jenak kehidupan Nabi saw., bersama para sahabat menjalankan kehidupan yang keras dan menyulitkan ketika sesaat sebelum perang Khandak. Dalam kondisi yang payah di bawah terik matahari, para mujahid bersungguh-sungguh menggali parit atas perintah Rasulullah dengan penuh semangat. Padahal tak terbayang betapa panasnya hamparan tanah Arab yang disoroti sinar matahari sepanjang hari. Peluh yang menjadikan para sahabat dipaksa untuk terus merasakan ketidaknyamanan raga, namun hati mereka tetap teduh dalam tsiqoh dan loyalitas. Lelah yang menghiasi waktu mereka setiap saatnya senantiasa membayangi azzam yang kokoh dan terhujam kuat dengan sosok Rasulullah sebagai nakhoda kebijakan perang yang paling disegani.  
Inilah sosok pemimpin yang tidak hanya sekedar memerintah, melainkan ikut dan bahkan mengawali hingga selanjutnya dicontoh oleh para sahabat. Sehingga, muncullah ketegaran yang luar bisa yang menghujam dalam sosok Salman Al Farisi. Ia menggali parit tanpa kenal henti sebelum Rasulullah memerintahkannya untuk berhenti. Inilah gambaran sebuah loyalitas yang tumbuh bagi para jundi-jundi Rabbani di atas kepemimpinan dan keteladanan sosok Nabi Muhammad saw.
Sebuah nilai ketegasan yang berlandaskan kesadaran untuk membuat orang lain melakukan segala sesuatu tidak hanya atas dasar keterpaksaan, melainkan dengan kesadaran yang mendalam karena ketaatan. Ini adalah buah manis loyalitas sesungguhnya. Bahkan jika seandainya Nabi memberikan instruksi kepada sahabat agar mereka menceburkan diri ke dalam lautan api sekali pun, niscaya mereka dengan kerelaan dan senang hati melaksanakannya. Karena di dalam hati mereka sudah tergantung keyakinan yang kokoh terhadap pemimpin mereka. Keyakinan akan sebuah tanggung jawab kepemimpinan untuk melabuhkan setiap para jundinya menuju kemenangan hakiki. Kemenangan yang tidak hanya menjadikan parameter kebahagiaan dunia saja, melainkan kebahagiaan akhirat dengan cita rasa perjuangan yang tinggi.  
Pilar keindahan sebuah kepemimpinan Nabi saw., yang menjulang ke langit berupa sosok pemimpin yang paling disegani itu dibangun dengan sebuah sikap mulia berupa itsar atau mengutamakan saudaranya dibandingkan dengan kepentingan pribadi, juga mencintai saudaranya dibandingkan dengan cintanya terhadap diri sendiri. Betapa beliau tak tahan melihat penderitaan umatnya, yang begitu ingin umatnya selamat dan berbahagia, yang begitu mengasihi dan menyayangi orang-orang yang beriman, sungguh sangat mungkin meninggalkan kesan yang paling dalam bagi sahabat disekitarnya. 
Sehingga tidak heran jika sebagai pemimpin umat, Nabi Muhammad saw., ditaati dengan kasih sayang dan ketulusan para sahabat dan orang-orang mukmin ketika itu. Beliau ditaati bukan karena ditakuti, melainkan karena kecintaan umat terhadap sosok beliau yang mulia juga sebagai uswah hasanah.  
Di dalam bagian lain pada Al Quran yang mulia, dijelaskan mengenai sifat Nabi yang lemah lembut terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam. Inilah bentuk sikap berani mengambil tindakan tanpa meninggalkan hakikat dasar ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin yang senantiasa menyebarkan kasih sayang sesama sesuai dengan prinsip dasar manusia.  Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan bersikap sesuai dengan siapa yang dihadapi.
Pilar indah kepemimpinan beliau saw, jangan sampai redup karena pewarisnya. Sudahkah kita sadar akan hal ini?