Perhelatan ajang Miss World yang diselenggarakan
pada 4-6 September 2013 di Jakarta dan Bali menghadirkan sebuah fenomena unik
di kalangan masyarakat kita. Pro dan kontra mewarnai acara yang kabarnya
dihadiri oleh 130 perwakilan negara dari penjuru dunia. Pihak penyelenggara
mengklaim ajang tersebut tidak akan ada sesi bikini sebagai sarana untuk
mengeksploitasi kaum hawa dan tidak ada aktivitas yang melanggar koridor nilai
dan budaya timur.
Beberapa pihak yang menyatakan dukungannya
beranggapan bahwa ajang ini dapat memberikan citra Indonesia yang lebih baik
serta meningkatkan promosi wisata Indonesia agar dapat berkontribusi dalam
meningkatkan taraf ekonomi bagi masyarakat. Bahkan bagi beberapa pihak yang
terlibat menilai bahwa ajang ini merupakan wujud kepercayaan dunia kepada
Indonesia untuk menyelenggarakan kontes kecantikan sejagat tersebut. Ini
merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki kualitas dan dianggap baik.
Di sisi lain Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menyatakan sikap tegas menolak kontes Miss World yang diadakan di Indonesia.
Meskipun pihak penyelenggara menegaskan tidak ada sesi bikini dalam serangkaian
acaranya. Latar belakang penolakan MUI memiliki landasan Al Quran dan hadits
serta norma masyarakat kita. Mereka berpendapat bahwa sepanjang sejarah kontes
kecantikan itu selalu mempertontonkan kemolekan tubuh secara fisik. Selain itu,
MUI menilai bahwa ajang ini tidak sesuai dengan budaya bangsa karena
menonjolkan kemewahan dan hura-hura. Alasan ini didukung oleh setidaknya 15
ormas di Indonesia.
Fenomena ini sedikit banyak memberikan refleksi
terkati sebuah fenomena dualisme nilai budaya yang kita anut, khususnya terkait
penghargaan terkait kaum hawa. Ajang ini secara tidak langsung menjadi indikator
betapa sebagian besar masyarakat kita masih ambigu mengartikan harga dan peran
wanita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di satu sisi, kita masih menganggap bahwa wanita
bukan hanya sekedar memiliki tanggungjawab biologis berupa tuntutan untuk
melahirkan, mengasuh anak, mengurus rumah dan keluarga. Lebih dari itu, mereka
adalah ibu bangsa. Kodrat dan kemuliaan wanita tidak seledar disejajarkan
dengan kebebasan dan sanjungan. Namun seiring berjalannya waktu, pemahaman
terhadap wanita tanpa sadar telah bergeser. Secara perlahan wanita dipisahkan
dari tanggungjawab sebagai ibu bangsa. Ia telah dipisahkan dan dikorbankan
untuk mengisi perut dan kesenangan sebagian besar pihak yang menjadikannya
sebagai aset materialisme. Sehingga peran wanita bukan lagi sebagai ibu bangsa,
namun lebih kepada sebagai aset fisik semata. Perannya sebagai morality support berubah menjadi materialism support. Ajang ini menjadi
sebuah representasi fenomena pandangan dan penghargaan wanita di negara kita
sudah bergeser menjadi pandangan yang bersifat materialisme dibandingkan
moralitas.
Akibat dari dualisme ini, akan menyebabkan semakin
minim peran wanita dalam proses konstruksi sosial. Pandangan materialisme yang
menjangkiti mereka menuntut untuk mereka lebih mementingkan individu
dibandingkan sosial. Lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdandan di depan cermin
dan memoles fisik. Dengan kondisi ini, boleh jadi dalam beberapa waktu ke depan
wanita lebih senang disanjung atas kecantikan dibandingkan perannya di dalam
masyarakat. Akibatnya, wanita kita terancam beralih peran menjadi sekedar
perhiasan biologis yang hanya terpampang pada etalase orang-orang materialistik
yang bebas dinikmati oleh siapapun. Dibandingkan menjadi ibu negara yang
menjadi penopang moralitas, penentram hati dan pembina bangsa berbasis pada
lingkungan terkecil berupa keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar