Minggu, 27 Oktober 2013

Memeluk Cahaya


Ada celah hitam pada hati kita. Itu sebuah kewajaran kita sebagai manusia. Namun ketika ia kian membesar hingga membentuk potongan ruang hampa. Ini yang membawa bencana bagi setiap hati yang berinteraksi dengan kita. Pun Allah Menegurku dengan Maha Lembutnya terkait hal ini, kutafsirkan maksud Sayyid Quthb menjelaskan ayat berikut:

Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba yang beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan hati mereka...” (Al-Anfaal: 63)

Di dalam Fi Zhilaalil Quran beliau menegaskan, “Aqidah ini (Islam) memang ajaib!”, ketika ia telah meresap dalam hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang di antara sesamanya. Yang keras menjelma lunak, yang kasar menjadi lembut, yang kering berubah basah, dan yang liar menjadi jinak. Mereka terjalin dalam jalinan kelindan di antara sesamanya dengan jalinan yang kokoh, dalam dan empuk (nyaman).

Berjuta haru dan terima kasih kuhaturkan bagimu duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabb-ku. Aku tersipu tanpa tahu harus memberikan lencana seperti apa kepadamu. Hanya saja aku merasa munajat ini yang sangat berharga dan dapat kuungkap: semoga kita memiliki keinginan untuk terus dapat memeluk cahaya. Kedalaman insyaf dalam hati semoga Allah hadirkan untuk kita. Sehingga kita begitu sadar dan sangat tertampar bahwa ukhuwah ini, sekumpulan cahaya ini, dan dakwah ini hanyalah milik Allah. Dan kita hanya numpang di dalamnya. Sesekali Allah bisa saja menghempaskan kita keluar darinya. Tanpa kita minta, tanpa kita niatkan sedikitpun.

Dalam diam, hati ini bergumam: mungkin iman itu adalah satu-satunya perekat yang dapat mengikat kita dalam persaudaran menembus batas ruang dan masa. Hanya kita saja yang terlalu naif dalam upaya melanggengkan ukhuwah dengan minimnya keimanan. Menyelimuti cahaya dengan selimut iman yang compang-camping. Allahummaghfirlana...

Dalam ringkihnya jiwa, hati ini bertutur: air mata yang menetes bukan hanya sebatas bahasa jiwa yang mewakili hati yang mungkin tersakiti. Boleh jadi ia ekspresi kekecewaan terhadap besarnya harap akan suatu yang mungkin dianggap dapat digantungi olehnya. Padahal, yang digantungnya terlalu rapuh. Maka dari titik ini kita mulai menyadari, ketika kita ingin berdakwah dan memeluk cahaya, ada yang harus kita pahami bahwa keberhasilan kita dalam dakwah tidak sama dengan hingar-bingar tepuk tangan manusia akan kerja-kerja dakwah kita. Bahkan bukan berbinarnya sorot mata orang dalam memuji langkah-langkah kita. Namun kemenangan kita berkorespondensi pada jinaknya hati dan pikiran, kematangan sikap dan kedekatan kita pada Allah.

Iltizam kita dalam dakwah akan menyebabkan kita mati rasa. Mati rasa dalam menghadapi kekecewaan dan keruhnya keadaan. Lihatlah betapa Bilal bin Robbah disiksa oleh Umayyah dan tentaranya dengan sangat menyakitkan. Ditindihi batu yang beratnya melebihi berat manusia pada umumnya. Namun karena iltizamnya terhadap Islam dan dakwah, beliau lantang mengucap, “Ahad... Ahad... Ahad.” Tanpa peduli betapa sakit dan peluh telah menyelimuti dirinya. Mampukah kita seperti beliau?

Kecewanya kita, terombang-ambingnya kita dalam keraguan untuk melangkah, malasnya kita dalam bergerak dan rapunya ukhuwah kita dalam memeluk cahaya merupakan serangkaian indikasi betapa iltizam kita masih payah. Betapapun kondisi kita, insya Allah masih lebih baik dari pada mereka yang masih dirundung duka oleh beringasnya orang-orang dzalim di penjuru dunia ini. Masih lebih baik dari mereka yang menghabiskan waktu dipenjara, masih lebih baik dari pada mereka yang difitnah, masih lebih baik dari mereka yang hidup dalam pusara nestapa dunia.


Bagaimanapun, memeluk cahaya akan terus membuat kita rindu untuk terus bersungguh-sungguh dan bersabar dalam meniti perjalanan iman ini. Robbana latuzig qullubana ba'daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab... Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar