Di dalam
lingkar sederhana. Diskusi hangat malam hari itu terasa syahdu. Saya bersama dua
orang adik-adik yang baik dan lugu. Sungguh mereka membuat saya tersenyum dan
terkagum. Namun bukan berarti saya menikmati keluguan mereka, bahkan sebaliknya
malah saya belajar banyak dari mereka. Betapa mereka memiliki keinginan kuat untuk
berproses menjadi baik, memoles keimanan dan mengumpulkan tabulasi ilmu yang
luas dengan cara yang sederhana. Kami menyebutnya tarbiyyah.
Hal sederhana
yang kerap kali diajarkan para guru yang bijak adalah bagaimana kita sebaiknya
lebih dahulu menerima keberadaan orang lain, sebelum mereka menerima keberadaan
kita. Menempatkan diri menjadi bagian dari mereka, sehingga kita layak diterima
dan dicinta dan dengannya kita berproses bersama dalam proses perbaikan. Saya kira
ini prinsip penghargaan hidup yang paling sederhana dan dapat diterima banyak
orang. Memperlakukan diri sendiri sebelum anda ingin perlakukan orang
lain.
Salah seorang
dari kami bertanya, “Mas, mengapa kita harus berdakwah?”
Kemudian sesaat suasana menjadi hening. Saya hanya memasang mimik senyum sambil
berpikir untuk dapat menjawab pertanyaan yang pas untuk disampaikan.
Ingin rasanya
saya mengatakan bahwa dakwah itu wajib bagi setiap muslim. Sudah banyak dalil
saya siapkan. Namun seketika saya kembali berpikir untuk lebih memilih pembahasaan
yang lebih sederhana agar dapat dipahami bersama. Kemudian saya mendapatkan
ide.
“Ada yang bisa
bercerita tentang kue favorit yang paling kita sukai?” saya bertanya kepada
mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berseloroh.
“Aku suka kue
kelepon mas”
“Kenapa antum
suka itu akhi?”
“Karena
rasanya manis, terus kenyal dan ada kelapanya mas!”
Kemudian saya
tersenyum sambil berkata, “saya juga suka kue kelepon...” Nampak adik-adik
belum begitu dapat menebak maksud yang ingin saya ungkapkan. Beralih dengan
jurus yang lebih lugas, saya mencoba mengarahkan cara berpikir mereka.
“Saya kira,
kita memulai dakwah pun harusnya seperti itu” adik-adik masih mengernyitkan
dahi. “Maksudnya gimana mas?”
“Kita
sama-sama suka kue kelepon karena kita tahu bahwa ia rasanya enak, manis,
kenyal dan ada kelapanya. Kemudian kita ungkapkan kesukaan kita terhadap kue
kelepon kepada orang lain. Berharap mereka juga bisa merasakan enak dan
manisnya kue kelepon... Itulah dakwah. Kita menyampaikan Islam bukan sekeder
berpikir bahwa ini adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing
dari kita. Melainkan ini adalah sebuah upaya agar orang lain dapat merasakan
indahnya syariat Islam dan manisnya ketaatan. Kita sadar berdakwah, berarti setidaknya
kita telah sadari betapa Islam ini merupakan sebuah anugerah yang indah. Kemudian
tidak cukup sampai di situ, fitrah kita sebagai manusia setidaknya ingin
membagi sesuatu yang indah kepada orang lain. Semakin kita menyukai hal
tersebut, maka seharusnya semakin banyak alasan yang kita bisa sampaikan kepada
orang lain untuk menyukai hal yang sama dengan kita. Seperti halnya kue kelepon
tadi. Jika kita tidak memiliki keinginan kuat untuk menyampaikan kesukaan kita
dan tidak memiliki banyak alasan mengapa kita suka, berarti ada yang salah
dalam kita menyukai hal tersebut. Begitupun dakwah, semakin kita malas
menyampaikan kebaikan-kebaikan Islam, berarti ada masalah pada diri kita dalam
menyukai Islam. Boleh jadi kita mengaku Islam, tapi tidak menyukainya. Boleh jadi
kita mengaku Islam tapi belum berusaha untuk mencari manis dan indahnya
ketaatan kepada Allah. Sehingga Islamnya kita... yaa saya kira kita
semua sudah mengerti”
Raut wajah
adik-adik mencerminkan kepahaman. Alhamdulillah... hal sederhana namun menjadi
istimewa. Saya berpikir, jika selama ini
banyak pedagang berkata, “kebutuhan bagimu adalah investasi dan keuntungan bagiku.”
Namun dalam konteks tarbiyyah kita bisa mengatakan, “Hal baik dan bermanfaat
yang telah kuperbuat padamu, telah menambah catatan pundi-pundi kekayaan amalku, insya Allah... Aamiin.”
Ellayi la murhansat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar