Senin, 21 Oktober 2013

Tarbiyyah dan Kesederhanaan



Di dalam lingkar sederhana. Diskusi hangat malam hari itu terasa syahdu. Saya bersama dua orang adik-adik yang baik dan lugu. Sungguh mereka membuat saya tersenyum dan terkagum. Namun bukan berarti saya menikmati keluguan mereka, bahkan sebaliknya malah saya belajar banyak dari mereka. Betapa mereka memiliki keinginan kuat untuk berproses menjadi baik, memoles keimanan dan mengumpulkan tabulasi ilmu yang luas dengan cara yang sederhana. Kami menyebutnya tarbiyyah.

Hal sederhana yang kerap kali diajarkan para guru yang bijak adalah bagaimana kita sebaiknya lebih dahulu menerima keberadaan orang lain, sebelum mereka menerima keberadaan kita. Menempatkan diri menjadi bagian dari mereka, sehingga kita layak diterima dan dicinta dan dengannya kita berproses bersama dalam proses perbaikan. Saya kira ini prinsip penghargaan hidup yang paling sederhana dan dapat diterima banyak orang. Memperlakukan diri sendiri sebelum anda ingin perlakukan orang lain.

Salah seorang dari kami bertanya, “Mas, mengapa kita harus berdakwah?” Kemudian sesaat suasana menjadi hening. Saya hanya memasang mimik senyum sambil berpikir untuk dapat menjawab pertanyaan yang pas untuk disampaikan.

Ingin rasanya saya mengatakan bahwa dakwah itu wajib bagi setiap muslim. Sudah banyak dalil saya siapkan. Namun seketika saya kembali berpikir untuk lebih memilih pembahasaan yang lebih sederhana agar dapat dipahami bersama. Kemudian saya mendapatkan ide.
“Ada yang bisa bercerita tentang kue favorit yang paling kita sukai?” saya bertanya kepada mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berseloroh.
“Aku suka kue kelepon mas”
“Kenapa antum suka itu akhi?”
“Karena rasanya manis, terus kenyal dan ada kelapanya mas!”

Kemudian saya tersenyum sambil berkata, “saya juga suka kue kelepon...” Nampak adik-adik belum begitu dapat menebak maksud yang ingin saya ungkapkan. Beralih dengan jurus yang lebih lugas, saya mencoba mengarahkan cara berpikir mereka.
“Saya kira, kita memulai dakwah pun harusnya seperti itu” adik-adik masih mengernyitkan dahi. “Maksudnya gimana mas?”
“Kita sama-sama suka kue kelepon karena kita tahu bahwa ia rasanya enak, manis, kenyal dan ada kelapanya. Kemudian kita ungkapkan kesukaan kita terhadap kue kelepon kepada orang lain. Berharap mereka juga bisa merasakan enak dan manisnya kue kelepon... Itulah dakwah. Kita menyampaikan Islam bukan sekeder berpikir bahwa ini adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing dari kita. Melainkan ini adalah sebuah upaya agar orang lain dapat merasakan indahnya syariat Islam dan manisnya ketaatan. Kita sadar berdakwah, berarti setidaknya kita telah sadari betapa Islam ini merupakan sebuah anugerah yang indah. Kemudian tidak cukup sampai di situ, fitrah kita sebagai manusia setidaknya ingin membagi sesuatu yang indah kepada orang lain. Semakin kita menyukai hal tersebut, maka seharusnya semakin banyak alasan yang kita bisa sampaikan kepada orang lain untuk menyukai hal yang sama dengan kita. Seperti halnya kue kelepon tadi. Jika kita tidak memiliki keinginan kuat untuk menyampaikan kesukaan kita dan tidak memiliki banyak alasan mengapa kita suka, berarti ada yang salah dalam kita menyukai hal tersebut. Begitupun dakwah, semakin kita malas menyampaikan kebaikan-kebaikan Islam, berarti ada masalah pada diri kita dalam menyukai Islam. Boleh jadi kita mengaku Islam, tapi tidak menyukainya. Boleh jadi kita mengaku Islam tapi belum berusaha untuk mencari manis dan indahnya ketaatan kepada Allah. Sehingga Islamnya kita... yaa saya kira kita semua sudah mengerti”

Raut wajah adik-adik mencerminkan kepahaman. Alhamdulillah... hal sederhana namun menjadi istimewa. Saya  berpikir, jika selama ini banyak pedagang berkata, “kebutuhan bagimu adalah investasi dan keuntungan bagiku.” Namun dalam konteks tarbiyyah kita bisa mengatakan, “Hal baik dan bermanfaat yang telah kuperbuat padamu, telah menambah catatan pundi-pundi kekayaan amalku, insya Allah... Aamiin.” 

Ellayi la murhansat...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar