Sahabat yang disayang
Allah, sebuah perbedaaan adalah fitrah. Sedangkan keseimbangan dalam hidup
adalah sunatullah. Allah Subhanahu wata’ala
sejak awal Merancang kehidupan,
diisi oleh para penghuni yang majemuk dan plural. Dia Memberikan gambaran indah
tentang fenomena kemajemukan ini: Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa di antara kamu. (QS Al Hujurat: 13).
Namun di balik fitrah perbedaan
ini, tentu bersemayam persepsi kemanusiaan kita yang terbatas dalam memberikan
penilaian terhadap sesuatu. Persepsi yang boleh jadi menjadikan jurang
perbedaan semakin besar. Karena sebagian dari kita terjebak dalam fenomena kekeliruan.
Memberikan penilaian yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Atau persepsi
yang kita yakini berupa kebaikan sehingga membawa kita berupaya untuk memaparkannya
agar layak untuk membuat orang lain mengangguk setuju.
Disadari atau tidak, kekeliruan
merupakan subyektivitas penilaian yang terkadang dapat membawa pada sebuah
bencana. Kita banyak belajar tentang ekspresi kekeliruan Iblis dari jenak
peristiwa yang berasal dari keangkuhannya ketika diperintahkan Allah untuk
sujud kepada Adam. Iblis memiliki persepsi bahwa ia lebih mulia dibandingkan
Adam. Alasannya, Ia diciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Padahal
kita semua fahami pada kenyataannya sekarang, harga tanah lebih mahal
dibandingkan harga api. Lantas apa yang membuatnya merasa lebih mulia jika
tanah sebenarnya lebih berharga dibadingkan api? Inilah kekuatan persepsi yang
mendorong Iblis menjadi angkuh dan sombong, hingga kemudian mendapatkan laknal
Allah Azza wa Jalla.
Fenomena kekeliruan pun
pernah tergambarkan pada diri sahabat ketika masa Rasulullah Salallahu alayhi wassalam. Saat itu
Usamah, seorang pemuda yang diminta menjadi panglima memimpin peperangan,
berhasil menjebak seorang musuh bebuyutan di sudut cekung bebatuan. Merasa
terjepit seorang diri, tentara musuh itu melakukan segala cara untuk dapat
menyelamatkan hidupnya. Tak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk bersyahadat.
Kemudian seketika dia bersyahadat secara sempurna: Asyhadu an laillaha illalah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.
Namun Usamah tak bergeming, ia tetap membunuh tentara itu. Kemudian salah
seorang sahabat melaporkan hal tersebut kepada nabi, lalu beliau memanggil
Usamah dalam keadaan marah. Nabi menanyai Usamah kenapa membunuh orang yang
sudah bersyahadat. Usama memberi alasan, orang itu bersyahadat hanya cari
selamat karena terdesak, bukan didorong kesadaran. Akhirnya Nabi menyatakan: Nahnu nahkumu bi al-dhawir wallahuyatawallas
sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan hanya Allah yang
menentukan apa yang ada di dalam bathin seseorang). Akhirnya Usamah bertobat kepada Allah dan menyesali perbuatannya
dihadapan Rasulullah.
Dari kedua fenomena
kekeliruan ini, terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kekuatan
persepsi telah membuat seseorang berani melakukan tindakan yang belum tentu
berujung pada kebaikan untuk dirinya. Lihatlah Iblis yang berani menilai Adam
dan bertindak untuk menentang Allah. Sedangkan Usamah, dengan persepsi sempit
telah mendorong dirinya untuk bertindak membunuh seseorang yang telah
bersyahadat. Keduanya mendapat murka. Namun perbedaannya, Usamah setelah
menyadari kekeliruannya, ia langsung bertobat kepada Allah, sedangkan Iblis
semangkin angkuh dengan kesombongannya.
Entah seberapa sering
kita melakukan kekeliruan. Boleh jadi tanpa disadari, kita telah membuat jurang
perbedaan itu terlampau besar. Atau mungkin tanpa disadari, sifat Iblis yang
sedikit banyak telah mengendap di dalam diri kita. Sehingga menyebabkan lekatnya
ukhuwah hanya menempel di ujung lisan. Selebihnya adalah kehampaan rasa akibat
ekspresi ukhuwah formal tanpa mengendap pada rongga iman sama sekali. Wajar
jika kita lebih senang mengatakan ‘aku benar dan kau salah’, ‘aku lebih baik
dan kau lebih buruk’, ‘zamanku lebih baik dari zamanmu’ dan berbagai macam
ekspresi lainnya yang tanpa terasa telah mengeraskan hati kecil kita. Sungguh
gambaran itu begitu dekat dan akrab. Sadarkah kita mungkin Allah menjadikannya perumpamaan akan ukhuwah kita yang sedang bermasalah? Jika kita tersadar,
selanjutnya periksalah iman kita. Boleh jadi, kelalaian kita terhadapnya telah
membuat iman kita meredup. Kemudian dengannya kebenaran tidak lagi terbaca...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar