Senin, 29 Juli 2013

Jiwa yang Lupa



Ada satu nasihat berharga yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam buku beliau berjudul Shaidul Khatir terkait sebuah fenomena jiwa yang lupa, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai. 
Teguran itu menyesakkan. Namun cobalah sedikit saja kita merenungi betapa berharganya sebuah teguran. Karena sejatinya, ia adalah sebuah pengingat bagi jiwa yang lupa. Hanya jiwa yang nyaman dengan kelalaian yang mungkin akan menganggap bahwa teguran itu menyesakkan. Karena ia tidak menyadari bahwa dirinya berada di ujung jurang kebekuan hati. Ia merasa aman dari dosa hingga kepekaan jiwa akan kemaksiatan yang telah dilakukan tidak membuatnya menyesal. Sekecil apapun dosa itu.
Setiap jenak rasa di dalam cuplikan hidup ini adalah teguran dari Allah. Ia hadir berupa kesulitan, kemudahan, kelapangan dan kekecewaan. Hanya saja, hati kita terlalu kaku untuk menganggapnya sebuah teguran. Sehingga terkadang kita terlalu larut dalam sebuah rasa hingga kemudian tidak menyadari bahwa tujuan Allah memberikan ini semua hanyalah untuk menjaga kita agar tidak menjadi jiwa yang lupa. Meskipun lupa adalah fitrah, namun membiarkan jiwa yang lupa ialah membiarkan hati tidak merasakan kepekaan atas dosa dan kelalaian. Betapa meruginya, ketika hati ini tidak dapat merasakan manisnya mengerjakan kebaikan dan sengsaranya mengerjakan dosa. Secara fisik ia adalah tubuh yang sehat, namun di dalamnya terdapat jiwa yang merana dan hati yang tidak peka.
Di penghujung Ramadhan ini, tentunya berbagai cuplikan hidup Allah hadirkan di dalam hidup kita. Dari momen yang sangat membahagiakan berupa kesempatan-kesempatan untuk kita dapat menunaikan ibadah-ibadah untuk mengisi bulan ini dengan sebaik-baiknya, berinteraksi dengan sesama mukmin atas nama ukhuwah, menjalankan agenda buka puasa bersama kaum dhuafa, yatim dan anak jalanan, bercengkrama dengan keluarga. Sampai momen yang memilukan berupa kabar saudara kita yang berpeluh di Mesir memperjuangkan hak kedaulatan politk mereka, perjuangan mukmin Palestine untuk tanah Al Aqsa, pergulatan panas di Suriah yang masih terus berlangsung sampai sekarang.
Namun, sadarkah bahwa kita dalam keadaan ini, bukan hanya sekedar menjadi pengamat, penonton atau bahkan penikmat saja. Ini adalah teguran bagi kita untuk tidak menjadi jiwa yang lupa bahwa setiap mukmin adalah saudara. Ini adalah sebuah teguran bagi kita agar kita tersadar bahwa masih banyak orang di luar sana yang tidak ingin Islam tegak dengan segala konsekuensinya. Ini adalah sebuah teguran bagi kita agar kita tersadar bahwa seharusnya kita bersyukur dengan kondisi kita yang jauh dari kemelaratan, kesulitan dan kesempitan dalam menjalankan ibadah-ibadah kita dibandingkan saudara kita di sana. Ini adalah sebuah teguran bagi kita agar setiap kita memahami bahwa Allah menginginkan dien ini ditegakkan atas dasar perjuangan dan pengorbanan.
Sayangnya kita lebih sering lupa dari pada ingat. Sehingga ruang jiwa hanya menjadi hampa sekalipun teguran datang menyapa... 

Jumat, 26 Juli 2013

Membangun Adab Dakwah



Dengan aktivitas dakwah yang kita lakukan, saya menyadari satu hal bahwa dinamika dakwah membuat kita belajar bahwa pengalaman mengajarkan lebih banyak daripada seribu buku. Semakin banyak pohon yang berhasil kita tebang, semakin dekat kita dengan predikat ahli. Maka jika kita takut gagal menebang pohon sehingga tidak pernah melakukannya, kita hanya akan berakhir menjadi seorang pengumpul ranting kecil yang berserakan.
Kedewasaan dalam menyelesaikan masalah, ketenangan hati dan pikiran, ketajaman insting dan kreativitas hanya bisa didapat melalui aktivitas, bukan dengan sekedar mempelajari teori. Masih sangat banyak pohon yang harus ditebang, bukan hanya agar pohon itu tumbang, tapi agar kita siap ketika harus berhadapan dengan pohon yang paling besar di proses selanjutnya.
Adab terpenting yang harus dibangun sesama aktivis dakwah adalah adab saling belajar. Ia merupakan bagian dari tradisi ilmu yang harus dipertahankan karena ia adalah bagian dari budaya da’i dan ulama kita terdahulu. Dengan proses pembelajaran di dalam dakwah, maka setiap orang yang berada di dalamnya bertumbuh dan semakin matang menghadapi tantangan dan ujian hidup.
Jika kita memahami bahwa kita adalah organisasi yang di dalamnya berisi sekumpulan manusia. Maka organisasi ini tidak akan lepas dari kekurangan dan keterbatasan. Oleh karenanya ia tidak bisa disebut sebagai organisasi yang berisi kumpulan malaikat yang jauh dari sifat tercela. Barangkali di luar organisasi dakwah, yang tidak mengikatkan diri untuk beredar bersamanya ada sebagian besar dari mereka yang lebih dekat kepada Allah, lebih memaknai kata dakwah dengan makna yang lebih valid. Sedangkan tidak sedikit kader dakwah yang belum memiliki kefahaman, belum mengenal Islam secara mendalam dan menyeluruh, belum berakhlak Islami, belum memiliki militansi para mujahid dakwah, bahkan tidak tertutup kemungkinan hatinya masih dikotri oleh berbagai penyakit.
Bagi saya ini adalah sebuah kewajaran, karena ia sekali lagi adalah sekumpulan manusia yang terdorong hatinya untuk menjadi seorang untuk menjadi lebih baik, mencoba sedikit mencicipi cita rasa dakwah meskipun belum sadar sepenuhnya untuk berkomitmen terhadapnya.
Jika kita ingin mengambil langkah untuk berproses di dalam sebuah pembelajaran bersama dakwah kampus untuk melakukan perbaikan, maka pastikan bahwa ia adalah proses dua arah yang menjadikan diri kita baik dan juga memberikan pengaruh baik kepada orang lain. Bukankah jika kita hendak membersihkan lantai, maka pastikan bahwa kita memiliki sapu yang bersih untuk membersihkannya?
Adab saling menasihati menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam dakwah kampus. Karena di dalam Al Quran, Allah Memberikan gambaran bahwa hak saling menasihati sesama mukmin itu disebutkan tiga kali, yaitu saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang. Sehingga dengan inilah ukhuwah yang berlandaskan kokohnya akidah akan terbangun di kalangan para aktivis.

Jumat, 19 Juli 2013

Jika Saatnya...




Jika saatnya sayap mengepak
Maka tidak ada burung manapun yang tak akan terbang
Bukan hanya sekedar terbang
Namun mengangkasa bersama indahnya langit

Jika saatnya musim semi itu datang
Maka tidak ada satupun bunga yang tak bertumbuh
Bukan hanya sekedar bertumbuh
Namun berkembang semerbak menghadirkan keindahan

Jika saatnya rasa terbagi
Maka tidak akan ada jiwa yang merasa sendiri
Bukan hanya sekedar membagi rasa
Namun membagi cita mengarungi hidup atas nama kebersamaan

Jika saatnya hati terketuk
Maka pintu jiwa mana yang tak terbuka?
Bukan hanya sekedar masuk dan mengisi relung hati
Namun merengkuhnya dengan penuh kepasrahan dan ketundukan

Kau bisa mematikan semua burung yang terbang
Kau dapat membekukan rasa
Kau dapat menutup pintu hati, dan
Kau bisa mencerabut seluruh bunga yang ada

Namun percayalah,
Bahwa kau tidak akan bisa menahan
Datangnya musim semi...

-Solli Murtyas-

Rabu, 17 Juli 2013

Filosofi Jurang dan Pintu



Konon katanya, belakangan ini sedang ada proyek perluasan Neraka. Karena saking banyaknya orang yang memesan tempat di sana tanpa sadar (sebenarnya banyak juga yang sadar, tapi mungkin ga mau ngaku kayaknya, hehehe). Kini banyak orang berjalan ke luar rumah tanpa malu auratnya terbuka, mengambil barang orang lain tanpa izin, seorang anak tega membunuh ibu kandungnya sendiri, seorang anak berani menjebloskan ibu kandungnya hanya karena mengambil jagung tanpa izin, ghibah aktif maupun pasif, dan mungkin sama satu lagi: orang-orang baligh yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, bahkan bangga dengan hal tersebut. Masih banyak lagi cara memesan kapling neraka dengan perbuatan dosa lainnya.
Namun diluar itu ada satu hal yang membuat saya agak berpikir mendalam. Ternyata di dalam Al Quran, Allah ta’ala jika menggambarkan Neraka itu biasanya dilekatkan padanya frase depan berupa kata Jurang. Sedangkan Surga, biasanya terdapat pintu-pintu di frase awalnya. Coba dicek sebagai salah satu amal kita mentadaburi Al Quranul Kariim. Ini menarik, mengapa?
Ketika kita kaitkan mengapa jurang Neraka dengan tulisan saya di awal. Coba kita bayangkan, boleh jadi kelak di akhirat penghuni neraka itu banyaknya luar biasa. Sehingga tidak disediakan pintu masuk. Bagi sang pengingkar yang banyak itu terhadap Allah, langsung saja. Tidak ada kompromi membuka pintu. Langsung dijebloskan ke jurang Neraka. Tidak ada pelayanan sambutan hangat bagi para penghuninya. Coba kita bayangkan, jika kita berada di tepi jurang pada suatu tempat di dunia saja. Pasti adrenalin dan nyali kita langsung ciut. Nah, ini Neraka? Seburuk-buruknya tempat kembali. Na’udzubillah...
Sebaliknya, coba kita perhatikan dengan pintu Surga. Ternyata jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan penghuni Neraka, sehingga bagi mereka dibuatkan pintu-pintu Surga, sehingga mereka bisa masuk dengan teratur. Pintu biasanya diidentikan dengan sebuah tempat yang memang terjaga. Tidak semua orang bisa masuk karena hanya diperuntukan bagi orang-orang yang memang diizinkan masuk. Subhanallah...
Jadi tempat yang mana nanti akan kita labuhkan untuk terminal akhirat? Hanya dengan iman kita bisa menjawab dengan jawaban terbaik untuk tempat terbaik. Insya Allah...

Senin, 08 Juli 2013

BERBICARA KESUNGGUHAN


Sahabat, coba kita petik hikmah dari Firman Allah dalah surat Maryam ayat 12,
“Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah...”
Ketika Allah memberikan sebuah instruksi mulia terhadap Nabi Yahya as, untuk mengajak ketaatan dan melaksanakannya dengan quwwah. Perhatikan kata quwwah disini berarti jiddiyyah atau kesungguhan.

Tidak ada keberhasilan tanpa kesungguhan. Itulah pesan singkat namun sarat akan makna yang seharusnya menjadi perenungan besar bagi kita. Karena kesungguhan adalah kunci keberhasilan kita dalam dakwah.

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia ini diisi dan akan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisasikan cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyyah dan kekuatan tekad.

Menurut Ustadz Rahmat Abdullah, dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa melebihi usia mereka. boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tidak panjang. Tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka. Jika kita sejenak mengalihkan pandangan kita pada bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka rata-rata hanya sekitar 60 tahun, namun satu rentang yang tidak terlalu panjang, namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militer, visi kenegarawanannya, dan dari sosok kepemimpinan mereka.

Kesungguhan akan berbuah menjadi ruh perjuangan yang kokoh manakala kita memahami bahwa kualitas amal-amal dakwah kita akan bergantung pada sejauh mana kita menanamkan kesungguhan di setiap jenak-jenak niat yang ada. Biarkanlah banyak orang memiliki persepsi berbeda tentang ikhtiar kita, namun percayalah bahwa Allah lebih menilai kesungguhan kita di atas landasan niat yang teguh dan lurus karena-Nya. Jadikanlah kesungguhan kita dalam berikhtiar menjalani proses menjadi parameter keberhasilan, dibandingkan dengan hasil yang diperoleh.
Kesungguhan adalah seni memantapkan hati dan menatap masa depan. Bagi jiwa yang bersungguh-sungguh maka ia telah menjadikan dirinya melebur bersama azzam untuk berbuat. Karena hidup ini berbicara tentang apa yang kita perbuat, bukan sekedar hanya apa yang kita pikirkan. Begitu pun masa depan kita. Ia adalah buah apa yang kita perbuat. Maka berbicara tentang kesungguhan, ia adalah sebuah pilihan terbaik untuk kita menikmati perjuangan hidup saat ini dan esok hari.