Kamis, 03 November 2016

EKSPRESIKAN KECEMBURUANMU!



Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia (orang-orang kafir). Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. (Al Isra: 73-74)

Ghirah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Setiap muslim memiliki hak untuk mengekspresikan ghirah keislamannya sesuai dengan ilmu dan keyakinan. Ada yang lantang membelanya ketika ia dinista, ada pula yang khusyuk berdoa. Semuanya memiliki kadar ghirah yang berbeda.

Ghirah atau kecemburuan adalah semangat yang menggelora dan marah ketika sesuatu yang dicintainya diremehkan, direndahkan dan dinistakan. Ini adalah konsekuensi cinta dalam bentuk dan kepada apapun.

Tak perlu khawatir, Islam akan senantiasa mulia dengan kemuliaannya. Namun demikian, khawatirlah terhadap diri kita jika memang ternyata harta benda, kedudukan, anak istri akan membuat kita lebih tersinggung jika ia diusik dan direndahkan dibandingkan keyakinannya dinistakan.

Tak pantas nampaknya mengusik kadar kecemburuan orang lain terhadap agamanya, karena ada yang jauh penting dari itu yaitu menjaga kesatuan hati orang muslim. Hadirkan doa dan prasangka terbaik kita untuk setiap muslim. Insya Allah aksi damai 4 November berkah. Semoga menjadi pijakan kuat menuju persatuan umat Islam di Indonesia.

Yuk, kita doakan semoga umat Islam yang mengekspresikan ghirah keislamannya besok di Jakarta mendapatkan perlindungan Allah Swt, tidak ada provokasi dan pelemahan yang menyebabkan suasana tidak kondusif. Bagi yang memilih untuk ‘berharap dan berdoa’ semoga diistiqomahkan dalam dakwah dan amal shalih… Aamiin.

Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati-hati mereka (kaum mukminin), seandainya kamu membelanjakan dunia dan seisinya, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah lah yang mempersatukan hati-hati mereka (Al Anfal: 63)

Yogyakarta, 4 November 2016

#special thanks untuk Ummu Hafiza atas kiriman fotonya

Kamis, 20 Agustus 2015

Gerak, Energi dan Kekuasaan

 Ada tulisan menarik di sudut ruangan ketika saya mengikuti sebuah acara bertajuk "4th EBTKE CONEX 2015". Tulisan yang ditulis oleh presiden pertama Republik Indonesia sungguh membuat saya semakin bersemangat dalam mendalami dan berkecimpung di bidang energi terbarukan. Tulisan itu adalah, "Gerak adalah sumber kehidupan, dan yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenangnya"

Sebuah logika sederhana bagaimana kita diajari untuk memahami bahwa energi memiliki peran yang vital dalam kehidupan kita. Beliau membuat korelasi gerak dan energi menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menjelaskan unsur kehidupan ini yang saling memberikan pengaruh. Semakin banyak gerak, semakin membutuhkan banyak energi, dan semakin kita sadar bahwa jika kita ingin bergerak maka energi menjadi modal utama. Kemudian, mengapa beliau mengaitkan energi dengan kekuasaan? Sungguh ini menjadi hal yang menarik untuk kita kaji bersama.

Pertama, kita berbicara minyak. Berdasarkan data dari Therichest, sepuluh perusahaan terbesar di dunia di bidang minyak dikuasai perusahaan yang berasal dari negara Amerika Serikat (Chevron, ExxonMobile), Saudi Arabia (Saudi Aramco) dan Rusia (Gazprom). Pada kenyataannya saat ini ketiga negara tersebut masih mendominasi dalam sebagian besar kebijakan politik dunia. Kedua, dalam hal gas. berdasarkan data dari BP Statistik, 74% perusahaan gas masih di Indonesia dikelola oleh asing dan hanya sekitar 26 % yang dikelola oleh perusahaan anak negeri.

Dari fakta di atas, sudah saatnya kita bangkit dan bergerak. Energi terbarukan merupakan ladang hijau bagi -Indonesia untuk dijadikan modal menuai kebangkitan. Negara-negara di dunia kini tengah berlomba-lomba menguasai dunia dengan membuka inovasi berbagai macam sumber energi terbarukan mulai dari biogas hingga geothermal, lantas apakah kita hanya sebagai 'pengguna' energi jadi yang terus tersandera oleh negara-negara yang berhasil menguasai bidang ini. Kita belum tertinggal jauh, oleh karenanya yang kita lakukan seharusnya bergerak dan terus bergerak...


Senin, 24 Maret 2014

Kepemimpinan Islam untuk Indonesia




Gempita Pemilihan Umum 2014 sudah di depan mata. Sebuah periode yang menentukan arah kepemimpinan negara kita sebagai bangsa yang memiliki tingkat populasi muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, sebagai muslim yang memiliki kepekaan akan nasib bangsa selama lima tahun ke depan, sangat wajar jika kita merasa bertanggungjawab untuk memilih pemimpin terbaik negeri ini. Hal ini disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan oleh mereka tentunya akan senantiasa bersinggungan langsung dengan kepentingan dan hajat kehidupan kita sebagai umat Islam.

Gagasan besar dalam kepemimpinan untuk membangun umat harus menjadi prioritas dan pertimbangan utama kita dalam menentukan pilihan. Gagasan besar dalam upaya kemaslahatan umat Islam tentunya. Hal ini dikarenakan sebuah periode kepemimpinan akan selalu bersinggungan dengan ukiran-ukiran sejarah sebuah bangsa. Ketika gagasan-gagasan besar dimunculkan oleh seorang pemimpin, sesingkat apapun masa kepemimpinannya, maka ia akan muncul sebagai pelaku sejarah yang sosoknya selalu dikenang dan dijadikan acuan oleh generasi selanjutnya.

Seorang muslim memandang kepemimpinan dalam konteks negara Indonesia tak akan lepas dari tujuan hidup yang sejati. Mereka menyandingkan visi sebagai khalifah di muka bumi dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Di sisi lain, mereka harus memahami bahwa konsekuensi pemahaman Islam sebagai rahmat, berarti Islam adalah solusi dari berbagai macam permasalahan hidup, Islam adalah pedoman dan merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hal inilah yang menjadi satu-satunya jalan kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

Bagi seorang muslim yang memiliki kepekaan untuk terus melakukan perbaikan terhadap diri dan lingkungannya, tentunya tidak akan lelah untuk mengungkap fenomena yang melekat pada kehidupan umat, mendiagnosis berbagai celah dan penyakit-penyakitnya, kemudian berupaya mencari titik terang mengatasi permasalah yang ada disekitarnya. Jika sekarang mereka berdiri di sini sebagai muslim yang mencintai tanah airnya, tentu mereka akan prihatin dan bersikap. Di tengah arus globalisasi yang menggelombang, identitas kita sebagai bangsa dipertaruhkan. Sayangnya, arus globalisasi ini lebih banyak menebar ancaman daripada kebermanfaatan. Hal ini bisa kita lihat betapa budaya asing yang memiliki nilai destruktif, gencar membudaya hingga banyak orang mengalami degenerasi moral yang signifikan. Pemuda dan pemudi tidak lagi berpikir bagaimana mereka berkontribusi, namun mereka termakan tren konsumtif yang menyebabkan kehidupannya lebih dekat dengan ketidakberdayaan dan kelemahan. Di samping itu, penjajahan modern semakin merajalela dengan beredarnya berbagai macam produk asing dibandingkan produk asli Indonesia hasil buah tangan masyarakat kita. Belum lagi terkait eksploitasi kekayaan alam kita oleh pihak asing. Sungguh bangsa kita berada di dalam jurang ketidakberdayaan.

Bangsa-bangsa barat telah bekerja sungguh-sungguh dalam upaya menggemakan gelombang kehidupan materialis beserta segenap aspek di dalamnya yang merusak serta menebarkan virus-virusnya yang mematikandan menghalangi umat dari unsur-unsur kebaikan yang bermanfaat. Hal ini bisa kita lihat bagaimana orang-orang kita lebih senang untuk pergi ke tempat hiburan dan menghamburkan banyak uang dibandingkan berinfak dan berbagai kebahagiaan bersama orang-orang miskin, sehingga angka kemiskinan negara ini masih sekitar sebelas persen dari jumlah keseluruhan penduduknya. Di samping itu, bangsa-bangsa barat telah menetapkan strategi perang sosial ini dengan sangat rapi dibantu oleh para pakar politik dan kekuatan militer, sehingga tercapailah apa yang mereka kehendaki. Lantas, apakah kita hanya bisa berdiam diri?

Ikhwahfillah, kebangkitan semua bangsa di dunia ini selalu bermula dari titik lemah yang menjadikan pengamatnya beranggapan bahwa mencapai apa yang dicita-citakan oleh umat adalah sebuah kemustahilan. Akan tetapi, di balik anggapan kemustahilan tersebut, sejarah sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan, dan kehati-hatian dalam bertindak telah mengantarkan bangsa-bangsa lemah itu merangkak dari ketidakberdayaan menuju puncak keberhasilan dan kejayaan yang dicita-citakan oleh para perancang kebangkitan terdahulu. Siapakah yang bisa percaya bahwa gurun pasir jazirah Arab yang gersang dan kering kerontang itu akan menjadi mercusuar kegemilangan peradaban. Di mana pengaruh spiritualitas dan politik menjadi unsur utamanya. Siapakah yang menyangka sebelumnya bahwa lelaki yang berhati lembut seperti Abu Bakar Ash Shidiq yang diprotes oleh beberapa sahabat karena keputusannya terhadap amsalah yang membuat para pendukungnya saat itu kebingungan, ternyata mampu mengirimkan sebelas pasukan dalam sehari untuk memberantas para pemberontak, meluruskan yang bengkok, memberi pelajaran kepada para pembangkang, menghancurkan orang-orang murtad dan mengembalikan hal Allah dalam zakat dari orang-orang yang tidak mau mengeluarkannya?

Oleh karena itu, gempita Pemilihan Umum kali ini seharusnya menjadi satu momentum yang menentukan. Kita menganggapnya sebagai sarana pembuktian bahwa Islam merupakan pokok perbaikan dari seluruh permasalah yang ada, dari dimensi politik pemerintah hingga permasalahan sosial yang mengakar rumput di Indonesia. Bagi seorang da’i, ini adalah sarana perlombaan dalam kebaikan. Seperti halnya lomba lari, tugas seorang pelari untuk menang adalah fokus pada tujuan dan mengerahkan daya upaya untuk menjadi yang tercepat. Tidak perlu disibukkan dengan kekuatan lawan hingga membuat kita ragu untuk bergerak. Tidak perlu dilelahkan dengan komentator para pengamat dan juru sorak, karena ia hanya akan membuat kita kehilangan fokus dan akhirnya lawan mengambil kesempatan untuk mengalahkan kita. faizza azamta, fatawakkal alallah...

Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (Q.S. An Nisa: 95)

Maraji’:
1.      Al Quranul kariim
2.      Pilar Kebangkitan Umat oleh Prof. Abdul Hamid Al Ghazali

3.      Majmuatur Rasail oleh Imam Hasan Al Banna

Senin, 11 November 2013

Pahlawan Pena


Kini zaman kian gaduh dengan serbuan kata. Ia menjelma dalam pandangan, pengamatan dan pendapat beragam jenis orang. Pemimpin menyekat keterbatasannya dengan kata. Para bintang menumbuhkan popularitasnya dengan kata. Para tokoh merasa bijaksana dengan cara menggelar pertunjukkan kata-kata. Bahkan banyak orang mengaku pakar dan menganggap tahu akan banyak hal, dengan cara memainkan dan mengolah banyak kata. Alhasil, mungkin fakta tidak lagi dianggap menarik bagi sebagian besar orang. Ilusi kata kini lebih menggoda. Sehingga kita menjadi bangsa yang kenyang dengan kata. Hingga pada akhirnya kita merasa cukup dengan kata tanpa upaya untuk menemukan realita.

Di balik gemuruh manusia menjadikan kata sebagai komoditas. Ternyata ada segilintir dari mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pandangan yang membuatnya dikenang oleh manusia tanpa ia perlu mengolah kata. Tidak bersandar pada kata dan menjadikannya sebagai pijakan untuk menorehkan makna. Hingga kata yang sesungguhnya lahir dari apa yang ia torehkan dalam gelaran sejarah hidupnya. Dia adalah sosok pahlawan. Garis perjuangannya tidak bergantung pada besar kecilnya jumlah kata dimuat agar ia dapat  disebut pahlawan.

Tak perlu banyak retorika kata, Bung Tomo memekikan “Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu akbar, Merdeka!” Sehingga dengannya ia dapat membakar semangat para pemuda dan pemudi untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Kesungguhan dan jihadnya dikenang oleh diorama sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Karya besarnya diiringi dengan kebesaran jiwa dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Sejarah kepahlawan itupun akan terus berlanjut. Bahkan di dalam rentang waktu kehidupan kita saat ini. Tantangan dan cara berjuangnya mungkin berbeda, namun fitrah kepahlawanan akan senantiasa sama, bahwa seorang pahlawan diakui karena karya besarnya. Karya yang bernilai manfaat seluas-luasnya. Karya yang dapat melipatgandakan kebaikan-kebaikan yang dirasakan oleh banyak orang. Karya yang berdampak pada perubahan tatanan kehidupan masyarakat yang carut-marut menjadi santun dan beradab.

   Itulah mengapa makna pahlawan perlu kita luaskan. Bukan sekedar mereka yang makamnya dihiasi dengan topi prajurit. Bukan hanya mereka yang gugur di medan perang atau terbunuh dalam konspirasi melawan penjajah. Namun pahlawan adalah sosok yang berani berjalan dan berjuang di atas koridor kebenaran. Walau di dalamnya terdapat ujian dan hambatan yang tentunya tidak ringan. Ia lebih menyukai berkorban untuk memperjuangkan kebenaran dan kepentingan banyak orang, dibandingkan menghimpun popularitas dan keharuman namanya. Dengan apapun sarana yang mereka punya, orientasi dan tekad berjuang mereka tidak sedikitpun memuai. Dahulu mungkin hanya sebatang bambu runcing, namun sekarang bisa jadi ia menjelma menjadi pena. Bahkan seni dan sastra salah satunya.

Seorang jurnalis terkemuka asal Kolombia Gabriel Marquez mengatakan, “Bangsa yang tidak menghargai sastrawan dan seniman serta mengabaikan tanda-tanda peringatan kebajikan melalui karya seni dan sastra merupakan bangsa yang gagal memaknai jiwa kemanusiaan dan kemerdekaan.” Ungkapan ini menjadi refleksi besar bagi kita sebagai bangsa. Di tengah badai masalah yang datang bertubi-tubi dan tak kunjung selesai. Kita kehilangan orientasi dan prioritas untuk mencipta karya-karya besar yang melahirkan para pahlawan baru. Seperti perahu yang melaut tanpa layar, dan berlabuh tanpa jangkar.  Energi kita sebagai bangsa habis untuk menyelesaikan satu urusan kenegaraan yang tak kunjung selesai. Sedangkan masalah yang lain dianggap tidak penting. Padahal boleh jadi salah satunya merupakan ladang untuk berkarya dan mencetak sejarah kepahlawanan kita. Jika kondisi ini terus berlanjut, jangan-jangan kita akan menjadi bangsa yang buruk rupa, bahkan  buruk rasa...

Jika fakta berbicara demikian. Sungguh betapa memalukan perilaku mereka yang bersembunyi di balik kata. Mendapatkan kursi kepemimpinan, popularitas dan hingar bingar sanjungan banyak orang namun ternyata tak mampu menorehkan karya untuk sejarah kepahlawanan bangsa. Betapa mengenaskan jika kita tak mampu berbuat apa-apa, padahal api keburukan merajalela di sekitar kita. Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah  memberikan gambaran nyata terkait hal ini, “Janganlah kalian meremehkan diri kalian sendiri.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana seorang disebut meremehkan dirinya sendiri?” Rasul menjawab, “Jika dia melihat perintah Allah kepadanya yang di dalamnya mengharuskannya bicara, kemudian dia tidak mengatakan apa-apa bahkan berkata: Biarlah Allah yang mengurusnya.” Di akhirat akan dikatakan kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk mengatakan begini dan begitu?” Dia menjawab, “Saya takut pada manusia.” Allah Berfirman, “Akulah yang lebih berhak untuk kamu takuti.”

Menjadi pahlawan pena mungkin tidak memiliki gengsi dibandingkan pahlawan-pahlawan yang lain. Namun jika ia memiliki tekad berkarya dalam koridor kebenaran dan kebaikan untuk banyak orang. Jika dengannya kita dapat membawa masyarakat semakin santun dan beradab dengan karya-karya kita. Mungkin ini menjadi amalan terbaik yang dapat kita banggakan kelak di hari pada saat Allah menimbang segala amalan yang kita lakukan. 

Minggu, 27 Oktober 2013

Memeluk Cahaya


Ada celah hitam pada hati kita. Itu sebuah kewajaran kita sebagai manusia. Namun ketika ia kian membesar hingga membentuk potongan ruang hampa. Ini yang membawa bencana bagi setiap hati yang berinteraksi dengan kita. Pun Allah Menegurku dengan Maha Lembutnya terkait hal ini, kutafsirkan maksud Sayyid Quthb menjelaskan ayat berikut:

Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba yang beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan hati mereka...” (Al-Anfaal: 63)

Di dalam Fi Zhilaalil Quran beliau menegaskan, “Aqidah ini (Islam) memang ajaib!”, ketika ia telah meresap dalam hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang di antara sesamanya. Yang keras menjelma lunak, yang kasar menjadi lembut, yang kering berubah basah, dan yang liar menjadi jinak. Mereka terjalin dalam jalinan kelindan di antara sesamanya dengan jalinan yang kokoh, dalam dan empuk (nyaman).

Berjuta haru dan terima kasih kuhaturkan bagimu duhai orang yang karenanya aku ditegur oleh Rabb-ku. Aku tersipu tanpa tahu harus memberikan lencana seperti apa kepadamu. Hanya saja aku merasa munajat ini yang sangat berharga dan dapat kuungkap: semoga kita memiliki keinginan untuk terus dapat memeluk cahaya. Kedalaman insyaf dalam hati semoga Allah hadirkan untuk kita. Sehingga kita begitu sadar dan sangat tertampar bahwa ukhuwah ini, sekumpulan cahaya ini, dan dakwah ini hanyalah milik Allah. Dan kita hanya numpang di dalamnya. Sesekali Allah bisa saja menghempaskan kita keluar darinya. Tanpa kita minta, tanpa kita niatkan sedikitpun.

Dalam diam, hati ini bergumam: mungkin iman itu adalah satu-satunya perekat yang dapat mengikat kita dalam persaudaran menembus batas ruang dan masa. Hanya kita saja yang terlalu naif dalam upaya melanggengkan ukhuwah dengan minimnya keimanan. Menyelimuti cahaya dengan selimut iman yang compang-camping. Allahummaghfirlana...

Dalam ringkihnya jiwa, hati ini bertutur: air mata yang menetes bukan hanya sebatas bahasa jiwa yang mewakili hati yang mungkin tersakiti. Boleh jadi ia ekspresi kekecewaan terhadap besarnya harap akan suatu yang mungkin dianggap dapat digantungi olehnya. Padahal, yang digantungnya terlalu rapuh. Maka dari titik ini kita mulai menyadari, ketika kita ingin berdakwah dan memeluk cahaya, ada yang harus kita pahami bahwa keberhasilan kita dalam dakwah tidak sama dengan hingar-bingar tepuk tangan manusia akan kerja-kerja dakwah kita. Bahkan bukan berbinarnya sorot mata orang dalam memuji langkah-langkah kita. Namun kemenangan kita berkorespondensi pada jinaknya hati dan pikiran, kematangan sikap dan kedekatan kita pada Allah.

Iltizam kita dalam dakwah akan menyebabkan kita mati rasa. Mati rasa dalam menghadapi kekecewaan dan keruhnya keadaan. Lihatlah betapa Bilal bin Robbah disiksa oleh Umayyah dan tentaranya dengan sangat menyakitkan. Ditindihi batu yang beratnya melebihi berat manusia pada umumnya. Namun karena iltizamnya terhadap Islam dan dakwah, beliau lantang mengucap, “Ahad... Ahad... Ahad.” Tanpa peduli betapa sakit dan peluh telah menyelimuti dirinya. Mampukah kita seperti beliau?

Kecewanya kita, terombang-ambingnya kita dalam keraguan untuk melangkah, malasnya kita dalam bergerak dan rapunya ukhuwah kita dalam memeluk cahaya merupakan serangkaian indikasi betapa iltizam kita masih payah. Betapapun kondisi kita, insya Allah masih lebih baik dari pada mereka yang masih dirundung duka oleh beringasnya orang-orang dzalim di penjuru dunia ini. Masih lebih baik dari mereka yang menghabiskan waktu dipenjara, masih lebih baik dari pada mereka yang difitnah, masih lebih baik dari mereka yang hidup dalam pusara nestapa dunia.


Bagaimanapun, memeluk cahaya akan terus membuat kita rindu untuk terus bersungguh-sungguh dan bersabar dalam meniti perjalanan iman ini. Robbana latuzig qullubana ba'daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab... Aamiin

Senin, 21 Oktober 2013

Tarbiyyah dan Kesederhanaan



Di dalam lingkar sederhana. Diskusi hangat malam hari itu terasa syahdu. Saya bersama dua orang adik-adik yang baik dan lugu. Sungguh mereka membuat saya tersenyum dan terkagum. Namun bukan berarti saya menikmati keluguan mereka, bahkan sebaliknya malah saya belajar banyak dari mereka. Betapa mereka memiliki keinginan kuat untuk berproses menjadi baik, memoles keimanan dan mengumpulkan tabulasi ilmu yang luas dengan cara yang sederhana. Kami menyebutnya tarbiyyah.

Hal sederhana yang kerap kali diajarkan para guru yang bijak adalah bagaimana kita sebaiknya lebih dahulu menerima keberadaan orang lain, sebelum mereka menerima keberadaan kita. Menempatkan diri menjadi bagian dari mereka, sehingga kita layak diterima dan dicinta dan dengannya kita berproses bersama dalam proses perbaikan. Saya kira ini prinsip penghargaan hidup yang paling sederhana dan dapat diterima banyak orang. Memperlakukan diri sendiri sebelum anda ingin perlakukan orang lain.

Salah seorang dari kami bertanya, “Mas, mengapa kita harus berdakwah?” Kemudian sesaat suasana menjadi hening. Saya hanya memasang mimik senyum sambil berpikir untuk dapat menjawab pertanyaan yang pas untuk disampaikan.

Ingin rasanya saya mengatakan bahwa dakwah itu wajib bagi setiap muslim. Sudah banyak dalil saya siapkan. Namun seketika saya kembali berpikir untuk lebih memilih pembahasaan yang lebih sederhana agar dapat dipahami bersama. Kemudian saya mendapatkan ide.
“Ada yang bisa bercerita tentang kue favorit yang paling kita sukai?” saya bertanya kepada mereka. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berseloroh.
“Aku suka kue kelepon mas”
“Kenapa antum suka itu akhi?”
“Karena rasanya manis, terus kenyal dan ada kelapanya mas!”

Kemudian saya tersenyum sambil berkata, “saya juga suka kue kelepon...” Nampak adik-adik belum begitu dapat menebak maksud yang ingin saya ungkapkan. Beralih dengan jurus yang lebih lugas, saya mencoba mengarahkan cara berpikir mereka.
“Saya kira, kita memulai dakwah pun harusnya seperti itu” adik-adik masih mengernyitkan dahi. “Maksudnya gimana mas?”
“Kita sama-sama suka kue kelepon karena kita tahu bahwa ia rasanya enak, manis, kenyal dan ada kelapanya. Kemudian kita ungkapkan kesukaan kita terhadap kue kelepon kepada orang lain. Berharap mereka juga bisa merasakan enak dan manisnya kue kelepon... Itulah dakwah. Kita menyampaikan Islam bukan sekeder berpikir bahwa ini adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing dari kita. Melainkan ini adalah sebuah upaya agar orang lain dapat merasakan indahnya syariat Islam dan manisnya ketaatan. Kita sadar berdakwah, berarti setidaknya kita telah sadari betapa Islam ini merupakan sebuah anugerah yang indah. Kemudian tidak cukup sampai di situ, fitrah kita sebagai manusia setidaknya ingin membagi sesuatu yang indah kepada orang lain. Semakin kita menyukai hal tersebut, maka seharusnya semakin banyak alasan yang kita bisa sampaikan kepada orang lain untuk menyukai hal yang sama dengan kita. Seperti halnya kue kelepon tadi. Jika kita tidak memiliki keinginan kuat untuk menyampaikan kesukaan kita dan tidak memiliki banyak alasan mengapa kita suka, berarti ada yang salah dalam kita menyukai hal tersebut. Begitupun dakwah, semakin kita malas menyampaikan kebaikan-kebaikan Islam, berarti ada masalah pada diri kita dalam menyukai Islam. Boleh jadi kita mengaku Islam, tapi tidak menyukainya. Boleh jadi kita mengaku Islam tapi belum berusaha untuk mencari manis dan indahnya ketaatan kepada Allah. Sehingga Islamnya kita... yaa saya kira kita semua sudah mengerti”

Raut wajah adik-adik mencerminkan kepahaman. Alhamdulillah... hal sederhana namun menjadi istimewa. Saya  berpikir, jika selama ini banyak pedagang berkata, “kebutuhan bagimu adalah investasi dan keuntungan bagiku.” Namun dalam konteks tarbiyyah kita bisa mengatakan, “Hal baik dan bermanfaat yang telah kuperbuat padamu, telah menambah catatan pundi-pundi kekayaan amalku, insya Allah... Aamiin.” 

Ellayi la murhansat...


Sabtu, 05 Oktober 2013

Keliru


Sahabat yang disayang Allah, sebuah perbedaaan adalah fitrah. Sedangkan keseimbangan dalam hidup adalah sunatullah. Allah Subhanahu wata’ala  sejak awal Merancang kehidupan, diisi oleh para penghuni yang majemuk dan plural. Dia Memberikan gambaran indah tentang fenomena kemajemukan ini: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. (QS Al Hujurat: 13).
Namun di balik fitrah perbedaan ini, tentu bersemayam persepsi kemanusiaan kita yang terbatas dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu. Persepsi yang boleh jadi menjadikan jurang perbedaan semakin besar. Karena sebagian dari kita terjebak dalam fenomena kekeliruan. Memberikan penilaian yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Atau persepsi yang kita yakini berupa kebaikan sehingga membawa kita berupaya untuk memaparkannya agar layak untuk membuat orang lain mengangguk setuju.
Disadari atau tidak, kekeliruan merupakan subyektivitas penilaian yang terkadang dapat membawa pada sebuah bencana. Kita banyak belajar tentang ekspresi kekeliruan Iblis dari jenak peristiwa yang berasal dari keangkuhannya ketika diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam. Iblis memiliki persepsi bahwa ia lebih mulia dibandingkan Adam. Alasannya, Ia diciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Padahal kita semua fahami pada kenyataannya sekarang, harga tanah lebih mahal dibandingkan harga api. Lantas apa yang membuatnya merasa lebih mulia jika tanah sebenarnya lebih berharga dibadingkan api? Inilah kekuatan persepsi yang mendorong Iblis menjadi angkuh dan sombong, hingga kemudian mendapatkan laknal Allah Azza wa Jalla.
Fenomena kekeliruan pun pernah tergambarkan pada diri sahabat ketika masa Rasulullah Salallahu alayhi wassalam. Saat itu Usamah, seorang pemuda yang diminta menjadi panglima memimpin peperangan, berhasil menjebak seorang musuh bebuyutan di sudut cekung bebatuan. Merasa terjepit seorang diri, tentara musuh itu melakukan segala cara untuk dapat menyelamatkan hidupnya. Tak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk bersyahadat. Kemudian seketika dia bersyahadat secara sempurna: Asyhadu an laillaha illalah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah. Namun Usamah tak bergeming, ia tetap membunuh tentara itu. Kemudian salah seorang sahabat melaporkan hal tersebut kepada nabi, lalu beliau memanggil Usamah dalam keadaan marah. Nabi menanyai Usamah kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usama memberi alasan, orang itu bersyahadat hanya cari selamat karena terdesak, bukan didorong kesadaran. Akhirnya Nabi menyatakan: Nahnu nahkumu bi al-dhawir wallahuyatawallas sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan hanya Allah yang menentukan apa yang ada di dalam bathin seseorang). Akhirnya Usamah bertobat kepada Allah dan menyesali perbuatannya dihadapan Rasulullah.
Dari kedua fenomena kekeliruan ini, terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kekuatan persepsi telah membuat seseorang berani melakukan tindakan yang belum tentu berujung pada kebaikan untuk dirinya. Lihatlah Iblis yang berani menilai Adam dan bertindak untuk menentang Allah. Sedangkan Usamah, dengan persepsi sempit telah mendorong dirinya untuk bertindak membunuh seseorang yang telah bersyahadat. Keduanya mendapat murka. Namun perbedaannya, Usamah setelah menyadari kekeliruannya, ia langsung bertobat kepada Allah, sedangkan Iblis semangkin angkuh dengan kesombongannya.

Entah seberapa sering kita melakukan kekeliruan. Boleh jadi tanpa disadari, kita telah membuat jurang perbedaan itu terlampau besar. Atau mungkin tanpa disadari, sifat Iblis yang sedikit banyak telah mengendap di dalam diri kita. Sehingga menyebabkan lekatnya ukhuwah hanya menempel di ujung lisan. Selebihnya adalah kehampaan rasa akibat ekspresi ukhuwah formal tanpa mengendap pada rongga iman sama sekali. Wajar jika kita lebih senang mengatakan ‘aku benar dan kau salah’, ‘aku lebih baik dan kau lebih buruk’, ‘zamanku lebih baik dari zamanmu’ dan berbagai macam ekspresi lainnya yang tanpa terasa telah mengeraskan hati kecil kita. Sungguh gambaran itu begitu dekat dan akrab. Sadarkah kita mungkin Allah menjadikannya perumpamaan akan ukhuwah kita yang sedang bermasalah? Jika kita tersadar, selanjutnya periksalah iman kita. Boleh jadi, kelalaian kita terhadapnya telah membuat iman kita meredup. Kemudian dengannya kebenaran tidak lagi terbaca...