Sejenak mari kita merenung dan membayangkan jenak-jenak kehidupan Nabi saw., bersama para sahabat menjalankan kehidupan yang keras dan menyulitkan ketika sesaat sebelum perang Khandak. Dalam kondisi yang payah di bawah terik matahari, para mujahid bersungguh-sungguh menggali parit atas perintah Rasulullah dengan penuh semangat. Padahal tak terbayang betapa panasnya hamparan tanah Arab yang disoroti sinar matahari sepanjang hari. Peluh yang menjadikan para sahabat dipaksa untuk terus merasakan ketidaknyamanan raga, namun hati mereka tetap teduh dalam tsiqoh dan loyalitas. Lelah yang menghiasi waktu mereka setiap saatnya senantiasa membayangi azzam yang kokoh dan terhujam kuat dengan sosok Rasulullah sebagai nakhoda kebijakan perang yang paling disegani.
Inilah sosok pemimpin yang tidak hanya sekedar memerintah, melainkan ikut dan bahkan mengawali hingga selanjutnya dicontoh oleh para sahabat. Sehingga, muncullah ketegaran yang luar bisa yang menghujam dalam sosok Salman Al Farisi. Ia menggali parit tanpa kenal henti sebelum Rasulullah memerintahkannya untuk berhenti. Inilah gambaran sebuah loyalitas yang tumbuh bagi para jundi-jundi Rabbani di atas kepemimpinan dan keteladanan sosok Nabi Muhammad saw.
Sebuah nilai ketegasan yang berlandaskan kesadaran untuk membuat orang lain melakukan segala sesuatu tidak hanya atas dasar keterpaksaan, melainkan dengan kesadaran yang mendalam karena ketaatan. Ini adalah buah manis loyalitas sesungguhnya. Bahkan jika seandainya Nabi memberikan instruksi kepada sahabat agar mereka menceburkan diri ke dalam lautan api sekali pun, niscaya mereka dengan kerelaan dan senang hati melaksanakannya. Karena di dalam hati mereka sudah tergantung keyakinan yang kokoh terhadap pemimpin mereka. Keyakinan akan sebuah tanggung jawab kepemimpinan untuk melabuhkan setiap para jundinya menuju kemenangan hakiki. Kemenangan yang tidak hanya menjadikan parameter kebahagiaan dunia saja, melainkan kebahagiaan akhirat dengan cita rasa perjuangan yang tinggi.
Pilar keindahan sebuah kepemimpinan Nabi saw., yang menjulang ke langit berupa sosok pemimpin yang paling disegani itu dibangun dengan sebuah sikap mulia berupa itsar atau mengutamakan saudaranya dibandingkan dengan kepentingan pribadi, juga mencintai saudaranya dibandingkan dengan cintanya terhadap diri sendiri. Betapa beliau tak tahan melihat penderitaan umatnya, yang begitu ingin umatnya selamat dan berbahagia, yang begitu mengasihi dan menyayangi orang-orang yang beriman, sungguh sangat mungkin meninggalkan kesan yang paling dalam bagi sahabat disekitarnya.
Sehingga tidak heran jika sebagai pemimpin umat, Nabi Muhammad saw., ditaati dengan kasih sayang dan ketulusan para sahabat dan orang-orang mukmin ketika itu. Beliau ditaati bukan karena ditakuti, melainkan karena kecintaan umat terhadap sosok beliau yang mulia juga sebagai uswah hasanah.
Di dalam bagian lain pada Al Quran yang mulia, dijelaskan mengenai sifat Nabi yang lemah lembut terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam. Inilah bentuk sikap berani mengambil tindakan tanpa meninggalkan hakikat dasar ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin yang senantiasa menyebarkan kasih sayang sesama sesuai dengan prinsip dasar manusia. Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan bersikap sesuai dengan siapa yang dihadapi.
Pilar indah kepemimpinan beliau saw, jangan sampai redup karena pewarisnya. Sudahkah kita sadar akan hal ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar