Gempita
Pemilihan Umum 2014 sudah di depan mata. Sebuah periode yang menentukan arah
kepemimpinan negara kita sebagai bangsa yang memiliki tingkat populasi muslim
terbesar di dunia. Oleh karena itu, sebagai muslim yang memiliki kepekaan akan
nasib bangsa selama lima tahun ke depan, sangat wajar jika kita merasa
bertanggungjawab untuk memilih pemimpin terbaik negeri ini. Hal ini disebabkan
karena kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan oleh mereka tentunya akan
senantiasa bersinggungan langsung dengan kepentingan dan hajat kehidupan kita
sebagai umat Islam.
Gagasan
besar dalam kepemimpinan untuk membangun umat harus menjadi prioritas dan
pertimbangan utama kita dalam menentukan pilihan. Gagasan besar dalam upaya
kemaslahatan umat Islam tentunya. Hal ini dikarenakan sebuah periode
kepemimpinan akan selalu bersinggungan dengan ukiran-ukiran sejarah sebuah
bangsa. Ketika gagasan-gagasan besar dimunculkan oleh seorang pemimpin,
sesingkat apapun masa kepemimpinannya, maka ia akan muncul sebagai pelaku
sejarah yang sosoknya selalu dikenang dan dijadikan acuan oleh generasi selanjutnya.
Seorang
muslim memandang kepemimpinan dalam konteks negara Indonesia tak akan lepas
dari tujuan hidup yang sejati. Mereka menyandingkan visi sebagai khalifah di
muka bumi dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Di sisi lain,
mereka harus memahami bahwa konsekuensi pemahaman Islam sebagai rahmat, berarti
Islam adalah solusi dari berbagai macam permasalahan hidup, Islam adalah
pedoman dan merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hal inilah yang menjadi
satu-satunya jalan kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Bagi
seorang muslim yang memiliki kepekaan untuk terus melakukan perbaikan terhadap
diri dan lingkungannya, tentunya tidak akan lelah untuk mengungkap fenomena
yang melekat pada kehidupan umat, mendiagnosis berbagai celah dan
penyakit-penyakitnya, kemudian berupaya mencari titik terang mengatasi
permasalah yang ada disekitarnya. Jika sekarang mereka berdiri di sini sebagai
muslim yang mencintai tanah airnya, tentu mereka akan prihatin dan bersikap. Di
tengah arus globalisasi yang menggelombang, identitas kita sebagai bangsa
dipertaruhkan. Sayangnya, arus globalisasi ini lebih banyak menebar ancaman
daripada kebermanfaatan. Hal ini bisa kita lihat betapa budaya asing yang
memiliki nilai destruktif, gencar membudaya hingga banyak orang mengalami
degenerasi moral yang signifikan. Pemuda dan pemudi tidak lagi berpikir
bagaimana mereka berkontribusi, namun mereka termakan tren konsumtif yang
menyebabkan kehidupannya lebih dekat dengan ketidakberdayaan dan kelemahan. Di
samping itu, penjajahan modern semakin merajalela dengan beredarnya berbagai
macam produk asing dibandingkan produk asli Indonesia hasil buah tangan
masyarakat kita. Belum lagi terkait eksploitasi kekayaan alam kita oleh pihak
asing. Sungguh bangsa kita berada di dalam jurang ketidakberdayaan.
Bangsa-bangsa
barat telah bekerja sungguh-sungguh dalam upaya menggemakan gelombang kehidupan
materialis beserta segenap aspek di dalamnya yang merusak serta menebarkan
virus-virusnya yang mematikandan menghalangi umat dari unsur-unsur kebaikan
yang bermanfaat. Hal ini bisa kita lihat bagaimana orang-orang kita lebih
senang untuk pergi ke tempat hiburan dan menghamburkan banyak uang dibandingkan
berinfak dan berbagai kebahagiaan bersama orang-orang miskin, sehingga angka
kemiskinan negara ini masih sekitar sebelas persen dari jumlah keseluruhan
penduduknya. Di samping itu, bangsa-bangsa barat telah menetapkan strategi
perang sosial ini dengan sangat rapi dibantu oleh para pakar politik dan
kekuatan militer, sehingga tercapailah apa yang mereka kehendaki. Lantas,
apakah kita hanya bisa berdiam diri?
Ikhwahfillah, kebangkitan semua bangsa di dunia
ini selalu bermula dari titik lemah yang menjadikan pengamatnya beranggapan
bahwa mencapai apa yang dicita-citakan oleh umat adalah sebuah kemustahilan.
Akan tetapi, di balik anggapan kemustahilan tersebut, sejarah sesungguhnya
telah mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran, keteguhan, kearifan, dan
kehati-hatian dalam bertindak telah mengantarkan bangsa-bangsa lemah itu
merangkak dari ketidakberdayaan menuju puncak keberhasilan dan kejayaan yang
dicita-citakan oleh para perancang kebangkitan terdahulu. Siapakah yang bisa
percaya bahwa gurun pasir jazirah Arab yang gersang dan kering kerontang itu
akan menjadi mercusuar kegemilangan peradaban. Di mana pengaruh spiritualitas
dan politik menjadi unsur utamanya. Siapakah yang menyangka sebelumnya bahwa
lelaki yang berhati lembut seperti Abu Bakar Ash Shidiq yang diprotes oleh
beberapa sahabat karena keputusannya terhadap amsalah yang membuat para
pendukungnya saat itu kebingungan, ternyata mampu mengirimkan sebelas pasukan
dalam sehari untuk memberantas para pemberontak, meluruskan yang bengkok,
memberi pelajaran kepada para pembangkang, menghancurkan orang-orang murtad dan
mengembalikan hal Allah dalam zakat dari orang-orang yang tidak mau
mengeluarkannya?
Oleh karena
itu, gempita Pemilihan Umum kali ini seharusnya menjadi satu momentum yang
menentukan. Kita menganggapnya sebagai sarana pembuktian bahwa Islam merupakan pokok
perbaikan dari seluruh permasalah yang ada, dari dimensi politik pemerintah
hingga permasalahan sosial yang mengakar rumput di Indonesia. Bagi seorang da’i,
ini adalah sarana perlombaan dalam kebaikan. Seperti halnya lomba lari, tugas
seorang pelari untuk menang adalah fokus pada tujuan dan mengerahkan daya upaya
untuk menjadi yang tercepat. Tidak perlu disibukkan dengan kekuatan lawan
hingga membuat kita ragu untuk bergerak. Tidak perlu dilelahkan dengan
komentator para pengamat dan juru sorak, karena ia hanya akan membuat kita
kehilangan fokus dan akhirnya lawan mengambil kesempatan untuk mengalahkan
kita. faizza azamta, fatawakkal
alallah...
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang
tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk
satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar” (Q.S. An Nisa: 95)
Maraji’:
1. Al Quranul
kariim
2. Pilar
Kebangkitan Umat oleh Prof. Abdul Hamid Al Ghazali
3. Majmuatur
Rasail oleh Imam Hasan Al Banna