Kamis, 22 Agustus 2013

Memilih untuk Bernafas Bersama Cinta-Nya


Saya mencoba mengawali bagian ini dengan sebuah kisah yang dituliskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam bukunya Raudhah al-Muhibbin wa nuzhah al-Musyaqi:

“Suatu ketika ada seorang lelaki penjual daging yang jatuh cinta kepada seorang wanita yang juga tetangganya sendiri. Pada suatu hari wanita tersebut pergi ke pasar untuk membeli daging dan kebetulan ia membeli daging pada tetangganya tersebut. Setelah membeli daging wanita tersebut pulang dan lelaki (penjual daging) mengikuti wanita ini. Dalam perjalanan, disuatu tempat yang sepi, sang lelaki (penjual daging) mengungkapkan rasa cintanya kepada sang wanita dengan rayuan dan gombalan untuk menarik hati sang wanita. Kemudian sang wanita membalas ungkapan cinta lelaki tersebut, aku lebih mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, tetapi aku lebih takut kepada Allah..."

Kisah sederhana ini menjadi awalan yang bagus sebelum kita menyelam lebih jauh untuk merenungi makna yang dalam tentang cinta dan memilih jalan untuk bernafas bersama cinta yang Allah Ta’ala anugerahkan untuk kita. Karena mungkin bagi sebagian besar kalangan, energi cinta ini terlampau besar hingga membuat mereka tak mampu mengendalikannya hingga kemudian terjerumus dalam sebuah lubang hina yang menistakan. Mereka tertawan nafsu yang mengatasnamakan cinta hingga tanpa sadar ia tergiring ke dalam jurang kebinasaan. Na’udzubillahi min dzalik...

Kita belajar banyak dari kisah di atas betapa sang wanita mampu mengendalikan gelora cinta yang bersemayam di dalam dirinya. Walau ia menyadari bahwa cinta yang dirasakan mendorong dirinya untuk dapat mengungkapkan kejujuran bahwa ia pun mencintai sang penjual daging. Namun karena kekuatan iman yang terhujam kuat, ia mampu mengatakan: Aku lebih mencintaimu melebihi cintamu kepadaku, tetapi aku lebih takut kepada Allah... 

Hidup ini adalah sebuah hamparan pilihan. Termasuk di dalamnya meletakkan cinta. Seperti halnya ketika kita berikhtiar untuk bangun pada malam hari untuk solat tahajjud, kemudian Allah memberikan kesempatan kita untuk menunaikannya. Ternyata ketika dalam proses menunaikannya terhampar berbagai pilihan seperti membaca surat yang panjang atau pendek, jumlah rakaat yang ingin ditunaikan serta doa yang ingin kita panjatkan. Semuanya baik, namun tentunya kita menginginkan pilihan terbaik. Begitupun ketika kita berbicara tentang cinta, tentunya kita harus meletakkan di tempat yang terbaik. 

Sikap ini adalah pilihan terbaik yang dipilih oleh sang wanita, karena ia memilihnya dengan iman. Dengan itu, hatinya meyakini bahwa tidak ada yang lebih baik dari kebahagiaan jiwa yang bertudung cinta berlandaskan iman. Bukan hawa nafsu atau kekaguman sesaat saja. Bahkan di dalam Al Quran yang mulia, Allah Ta’ala menggambarkan hal yang serupa pada kisah Nabi Yusuf alayhissalam:

Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, ‘marilah mendekat kepadaku’. Yusuf berkata, ‘aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang zalim itu tidak akan beruntung. Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, kami palingkan darinya keburkan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.” (Q.S. Yusuf: 23-24)

Di dalam situasi yang sama dengan kisah yang pertama, ternyata gelombang nafsu yang bersiap menerjang ketulusan cinta Nabi Yusuf alayhissalam terhadap Rabbnya tak mampu menghempaskan walau sempat sedikit menggoyahkan dirinya. Dengan kecantikan yang sempat membuat beliau ‘terkesima’ namun segera diingatkan oleh Allah dan akhirnya terhindar dari kehinaan dan perbuatan keji. 

Memilih untuk bernafas bersama cinta-Nya adalah jalan hidup terbaik. Sadarkan diri kita bahwa sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pecinta kepada yang dicintainya. Oleh karena itulah, cinta membuat kita untuk terus begerak dengan energi jiwa yang membuncah. Jikalau kita mencintai sesuatu yang tak pantas untuk dicinta atau bahkan mencurahkan kecintaan kita pada kehinaan, maka potensi energi jiwa ini hanya akan terbuang sia-sia dan hanya berujung pada hampanya jiwa. Karena ia tidak terisi dengan sesuatu yang mampu memenuhi setiap rongga hati yang murni. Padahal apa yang dicintai oleh seorang pecinta adalah sebentuk harapan besar. Sehingga satu-satunya jalan untuk kita mampu menyeimbangkan energi yang besar adalah dengan cara menyandarkannya pada sesuatu yang pantas disandarkan untuk harapan yang besar. Kemudian yang jadi pertanyaan sekarang, jika hati kita meyakini tidak ada yang mampu melakukan itu kecuali Allah. Mengapa kita masih mencari sandaran cinta kepada selain-Nya? 

Banguntapan, 22 Agustus 2013


*original picture at http://i1.sndcdn.com/artworks-000029276002-mdcq1i-original.jpg?5ffe3cd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar