Cinta
itu membuat engkau buta
akan
cela yang dicinta
dan
engkau rela
pada
apapun keadaannya
cinta
itu ketika menghujam
membuatmu
siap berkorban
untuk
yang dicinta
-Ibnul
Qayyim Al Jauziyah-
Menjadi seorang pecinta berarti merelakan dirinya menjadi buta akan segala macam celah dan kekurangan yang melekat pada diri yang dicintainya. Bagaimanapun kondisinya, cinta terkadang menjadi candu pemakluman atas kekecewaan yang sebenarnya hadir ketika melihat yang dicinta tidak sesuai dengan harapan. Cinta menjadi energi ketika jiwa terkungkung oleh kelemahan dan kepayahan. Cintalah yang menjadi alasan para pejuang untuk dapat ‘menari’ di ujung keterbatasan, cintalah yang menjadi alasan para syuhada tetap merekahkan senyum di tengah darah dan air mata yang terus mengalir.
Bagi seorang pecinta, memilih untuk mencinta adalah wujud kesadaran dari sebuah nurani dan jiwa yang hidup. Lebih dalam lagi, ia menemukan Allah dalam proses menumbuhkan cinta sehingga ia berjalan dengan kerangka iman yang kokoh. Baginya cinta bukan menuntut apa yang dicintai untuk berada dalam kondisi agar tetap menjadi yang dicinta. Tetapi sebaliknya, ia lebih menuntut untuk dapat memberi cinta walau bagaimanapun kondisi yang dicinta. Bukan karena keterpaksaan, melainkan cintanya pada Allah membuatnya belajar mengeja kekurangan menjadi satu kebaikan dan keberkahan. Oleh karena itu, Allah menganugerahkan padanya sebuah rasa nikmatnya mencinta.
Bukan kita mencintai kekurangan dan keterbatasan sebenarnya. Namun kita mencintai cara kita untuk menyikapi kekurangan dan keterbatasan yang kita temukan jika itu melekat pada diri yang dicintai. Karena iman menyadarkan kita bahwa cinta adalah kesungguhan untuk menciptakan keseimbangan jiwa menyikapi ketidaksempurnaan kita sebagai manusia.
Tugas para pecinta hanyalah memberi cinta. Perkara ada orang yang meresponnya dengan baik, berarti itu merupakan amanah Allah kepada kita untuk menjaga aliran energi cinta untuk tetap berada di dalam dirinya. Jika sebaliknya, berarti Allah Ta’ala mempersiapkan kita untuk dapat memancarkan energi cinta dengan lebih besar. Itulah wujud kelezatan nurani yang pernah dirasakan Bilal ketika ia berucap “Ahad... Ahad... Ahad” di tengah siksa yang berkecamuk, atau Umar dengan peluhnya mengangkat sekarung gandum yang ia antarkan kepada rakyatnya yang kelaparan, atau Sayyid Quthb di saat sebelum ia tergantung karena hukuman mati. Sungguh, jika engkau ingin menjadi seorang pencinta yang dicinta. Kelezatan nurani ini yang akan membuat para pecinta dunia yang fana menjadi iri dan ingin merampasnya dengan segala cara.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar