Ada celah hitam pada hati kita.
Itu sebuah kewajaran kita sebagai manusia. Namun ketika ia kian membesar hingga
membentuk potongan ruang hampa. Ini yang membawa bencana bagi setiap hati yang
berinteraksi dengan kita. Pun Allah Menegurku dengan Maha Lembutnya terkait hal
ini, kutafsirkan maksud Sayyid Quthb menjelaskan ayat berikut:
“Dan Allah yang mempersatukan
hati para hamba yang beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi
seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka.
Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan hati mereka...” (Al-Anfaal: 63)
Di
dalam Fi Zhilaalil Quran beliau
menegaskan, “Aqidah ini (Islam) memang ajaib!”, ketika ia telah meresap dalam
hati, ia akan menjadikan hati itu dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang di
antara sesamanya. Yang keras menjelma lunak, yang kasar menjadi lembut, yang
kering berubah basah, dan yang liar menjadi jinak. Mereka terjalin dalam
jalinan kelindan di antara sesamanya dengan jalinan yang kokoh, dalam dan empuk
(nyaman).
Berjuta
haru dan terima kasih kuhaturkan bagimu duhai orang yang karenanya aku ditegur
oleh Rabb-ku. Aku tersipu tanpa tahu harus memberikan lencana seperti apa
kepadamu. Hanya saja aku merasa munajat ini yang sangat berharga dan dapat
kuungkap: semoga kita memiliki keinginan untuk terus dapat memeluk cahaya.
Kedalaman insyaf dalam hati semoga Allah hadirkan untuk kita. Sehingga kita
begitu sadar dan sangat tertampar bahwa ukhuwah ini, sekumpulan cahaya ini, dan
dakwah ini hanyalah milik Allah. Dan kita hanya numpang di dalamnya. Sesekali
Allah bisa saja menghempaskan kita keluar darinya. Tanpa kita minta, tanpa kita
niatkan sedikitpun.
Dalam
diam, hati ini bergumam: mungkin iman itu adalah satu-satunya perekat yang
dapat mengikat kita dalam persaudaran menembus batas ruang dan masa. Hanya kita
saja yang terlalu naif dalam upaya melanggengkan ukhuwah dengan minimnya
keimanan. Menyelimuti cahaya dengan selimut iman yang compang-camping. Allahummaghfirlana...
Dalam
ringkihnya jiwa, hati ini bertutur: air mata yang menetes bukan hanya sebatas
bahasa jiwa yang mewakili hati yang mungkin tersakiti. Boleh jadi ia ekspresi kekecewaan
terhadap besarnya harap akan suatu yang mungkin dianggap dapat digantungi
olehnya. Padahal, yang digantungnya terlalu rapuh. Maka dari titik ini kita
mulai menyadari, ketika kita ingin berdakwah dan memeluk cahaya, ada yang harus
kita pahami bahwa keberhasilan kita dalam dakwah tidak sama dengan
hingar-bingar tepuk tangan manusia akan kerja-kerja dakwah kita. Bahkan bukan
berbinarnya sorot mata orang dalam memuji langkah-langkah kita. Namun
kemenangan kita berkorespondensi pada jinaknya hati dan pikiran, kematangan
sikap dan kedekatan kita pada Allah.
Iltizam
kita dalam dakwah akan menyebabkan kita mati rasa. Mati rasa dalam menghadapi
kekecewaan dan keruhnya keadaan. Lihatlah betapa Bilal bin Robbah disiksa oleh
Umayyah dan tentaranya dengan sangat menyakitkan. Ditindihi batu yang beratnya
melebihi berat manusia pada umumnya. Namun karena iltizamnya terhadap Islam dan
dakwah, beliau lantang mengucap, “Ahad... Ahad... Ahad.” Tanpa peduli betapa
sakit dan peluh telah menyelimuti dirinya. Mampukah kita seperti beliau?
Kecewanya
kita, terombang-ambingnya kita dalam keraguan untuk melangkah, malasnya kita
dalam bergerak dan rapunya ukhuwah kita dalam memeluk cahaya merupakan
serangkaian indikasi betapa iltizam kita masih payah. Betapapun kondisi kita,
insya Allah masih lebih baik dari pada mereka yang masih dirundung duka oleh
beringasnya orang-orang dzalim di penjuru dunia ini. Masih lebih baik dari
mereka yang menghabiskan waktu dipenjara, masih lebih baik dari pada mereka
yang difitnah, masih lebih baik dari mereka yang hidup dalam pusara nestapa
dunia.
Bagaimanapun,
memeluk cahaya akan terus membuat kita rindu untuk terus bersungguh-sungguh dan
bersabar dalam meniti perjalanan iman ini. Robbana latuzig qullubana ba'daidz haddaitana wahabblana miladunka, rohmatan innaka antal wahab... Aamiin