Kini zaman kian gaduh dengan serbuan
kata. Ia menjelma dalam pandangan, pengamatan dan pendapat beragam jenis orang.
Pemimpin menyekat keterbatasannya dengan kata. Para bintang menumbuhkan popularitasnya
dengan kata. Para tokoh merasa bijaksana dengan cara menggelar pertunjukkan
kata-kata. Bahkan banyak orang mengaku pakar dan menganggap tahu akan banyak
hal, dengan cara memainkan dan mengolah banyak kata. Alhasil, mungkin fakta tidak
lagi dianggap menarik bagi sebagian besar orang. Ilusi kata kini lebih menggoda.
Sehingga kita menjadi bangsa yang kenyang dengan kata. Hingga pada akhirnya
kita merasa cukup dengan kata tanpa upaya untuk menemukan realita.
Di balik gemuruh manusia menjadikan kata
sebagai komoditas. Ternyata ada segilintir dari mereka yang memiliki pandangan
berbeda. Pandangan yang membuatnya dikenang oleh manusia tanpa ia perlu mengolah
kata. Tidak bersandar pada kata dan menjadikannya sebagai pijakan untuk
menorehkan makna. Hingga kata yang sesungguhnya lahir dari apa yang ia torehkan
dalam gelaran sejarah hidupnya. Dia adalah sosok pahlawan. Garis perjuangannya tidak
bergantung pada besar kecilnya jumlah kata dimuat agar ia dapat disebut pahlawan.
Tak perlu banyak retorika kata, Bung
Tomo memekikan “Allahu akbar... Allahu
akbar... Allahu akbar, Merdeka!” Sehingga dengannya ia dapat membakar
semangat para pemuda dan pemudi untuk berjuang sampai titik darah penghabisan. Kesungguhan
dan jihadnya dikenang oleh diorama sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita. Karya
besarnya diiringi dengan kebesaran jiwa dalam meningkatkan harkat dan martabat
bangsa.
Sejarah kepahlawan itupun akan terus
berlanjut. Bahkan di dalam rentang waktu kehidupan kita saat ini. Tantangan dan
cara berjuangnya mungkin berbeda, namun fitrah kepahlawanan akan senantiasa
sama, bahwa seorang pahlawan diakui karena karya besarnya. Karya yang bernilai
manfaat seluas-luasnya. Karya yang dapat melipatgandakan kebaikan-kebaikan yang
dirasakan oleh banyak orang. Karya yang berdampak pada perubahan tatanan
kehidupan masyarakat yang carut-marut menjadi santun dan beradab.
Itulah mengapa
makna pahlawan perlu kita luaskan. Bukan sekedar mereka yang makamnya dihiasi
dengan topi prajurit. Bukan hanya mereka yang gugur di medan perang atau
terbunuh dalam konspirasi melawan penjajah. Namun pahlawan adalah sosok yang
berani berjalan dan berjuang di atas koridor kebenaran. Walau di dalamnya
terdapat ujian dan hambatan yang tentunya tidak ringan. Ia lebih menyukai
berkorban untuk memperjuangkan kebenaran dan kepentingan banyak orang,
dibandingkan menghimpun popularitas dan keharuman namanya. Dengan apapun sarana
yang mereka punya, orientasi dan tekad berjuang mereka tidak sedikitpun memuai.
Dahulu mungkin hanya sebatang bambu runcing, namun sekarang bisa jadi ia
menjelma menjadi pena. Bahkan seni dan sastra salah satunya.
Seorang jurnalis terkemuka asal Kolombia
Gabriel Marquez mengatakan, “Bangsa yang tidak menghargai sastrawan dan seniman
serta mengabaikan tanda-tanda peringatan kebajikan melalui karya seni dan
sastra merupakan bangsa yang gagal memaknai jiwa kemanusiaan dan kemerdekaan.” Ungkapan
ini menjadi refleksi besar bagi kita sebagai bangsa. Di tengah badai masalah
yang datang bertubi-tubi dan tak kunjung selesai. Kita kehilangan orientasi dan
prioritas untuk mencipta karya-karya besar yang melahirkan para pahlawan baru. Seperti
perahu yang melaut tanpa layar, dan berlabuh tanpa jangkar. Energi kita sebagai bangsa habis untuk
menyelesaikan satu urusan kenegaraan yang tak kunjung selesai. Sedangkan masalah
yang lain dianggap tidak penting. Padahal boleh jadi salah satunya merupakan
ladang untuk berkarya dan mencetak sejarah kepahlawanan kita. Jika kondisi ini
terus berlanjut, jangan-jangan kita akan menjadi bangsa yang buruk rupa, bahkan
buruk rasa...
Jika fakta berbicara demikian. Sungguh
betapa memalukan perilaku mereka yang bersembunyi di balik kata. Mendapatkan kursi
kepemimpinan, popularitas dan hingar bingar sanjungan banyak orang namun
ternyata tak mampu menorehkan karya untuk sejarah kepahlawanan bangsa. Betapa
mengenaskan jika kita tak mampu berbuat apa-apa, padahal api keburukan
merajalela di sekitar kita. Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah memberikan gambaran nyata terkait hal ini, “Janganlah kalian meremehkan diri kalian
sendiri.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana
seorang disebut meremehkan dirinya sendiri?” Rasul menjawab, “Jika dia melihat perintah Allah kepadanya
yang di dalamnya mengharuskannya bicara, kemudian dia tidak mengatakan apa-apa
bahkan berkata: Biarlah Allah yang mengurusnya.” Di akhirat akan dikatakan
kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk
mengatakan begini dan begitu?” Dia menjawab, “Saya takut pada manusia.” Allah Berfirman, “Akulah yang lebih berhak untuk kamu takuti.”
Menjadi pahlawan pena mungkin tidak
memiliki gengsi dibandingkan pahlawan-pahlawan yang lain. Namun jika ia
memiliki tekad berkarya dalam koridor kebenaran dan kebaikan untuk banyak
orang. Jika dengannya kita dapat membawa masyarakat semakin santun dan beradab
dengan karya-karya kita. Mungkin ini menjadi amalan terbaik yang dapat kita
banggakan kelak di hari pada saat Allah menimbang segala amalan yang kita
lakukan.