Ada satu nasihat
berharga yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam buku beliau berjudul Shaidul
Khatir terkait sebuah fenomena jiwa yang lupa, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan
tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang
belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan
hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga
tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah
seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya
tercapai.”
Teguran itu
menyesakkan. Namun cobalah sedikit saja kita merenungi betapa berharganya
sebuah teguran. Karena sejatinya, ia adalah sebuah pengingat bagi jiwa yang
lupa. Hanya jiwa yang nyaman dengan kelalaian yang mungkin akan menganggap
bahwa teguran itu menyesakkan. Karena ia tidak menyadari bahwa dirinya berada
di ujung jurang kebekuan hati. Ia merasa aman dari dosa hingga kepekaan jiwa akan
kemaksiatan yang telah dilakukan tidak membuatnya menyesal. Sekecil apapun dosa
itu.
Setiap jenak rasa
di dalam cuplikan hidup ini adalah teguran dari Allah. Ia hadir berupa
kesulitan, kemudahan, kelapangan dan kekecewaan. Hanya saja, hati kita terlalu
kaku untuk menganggapnya sebuah teguran. Sehingga terkadang kita terlalu larut
dalam sebuah rasa hingga kemudian tidak menyadari bahwa tujuan Allah memberikan
ini semua hanyalah untuk menjaga kita agar tidak menjadi jiwa yang lupa. Meskipun
lupa adalah fitrah, namun membiarkan jiwa yang lupa ialah membiarkan hati tidak
merasakan kepekaan atas dosa dan kelalaian. Betapa meruginya, ketika hati ini
tidak dapat merasakan manisnya mengerjakan kebaikan dan sengsaranya mengerjakan
dosa. Secara fisik ia adalah tubuh yang sehat, namun di dalamnya terdapat jiwa
yang merana dan hati yang tidak peka.
Di penghujung
Ramadhan ini, tentunya berbagai cuplikan hidup Allah hadirkan di dalam hidup
kita. Dari momen yang sangat membahagiakan berupa kesempatan-kesempatan untuk
kita dapat menunaikan ibadah-ibadah untuk mengisi bulan ini dengan
sebaik-baiknya, berinteraksi dengan sesama mukmin atas nama ukhuwah,
menjalankan agenda buka puasa bersama kaum dhuafa, yatim dan anak jalanan,
bercengkrama dengan keluarga. Sampai momen yang memilukan berupa kabar saudara
kita yang berpeluh di Mesir memperjuangkan hak kedaulatan politk mereka,
perjuangan mukmin Palestine untuk tanah Al Aqsa, pergulatan panas di Suriah
yang masih terus berlangsung sampai sekarang.
Namun,
sadarkah bahwa kita dalam keadaan ini, bukan hanya sekedar menjadi
pengamat, penonton atau bahkan penikmat saja. Ini adalah teguran bagi kita
untuk tidak menjadi jiwa yang lupa bahwa setiap mukmin adalah saudara. Ini
adalah sebuah teguran bagi kita agar kita tersadar bahwa masih banyak orang di
luar sana yang tidak ingin Islam tegak dengan segala konsekuensinya. Ini adalah
sebuah teguran bagi kita agar kita tersadar bahwa seharusnya kita bersyukur
dengan kondisi kita yang jauh dari kemelaratan, kesulitan dan kesempitan dalam
menjalankan ibadah-ibadah kita dibandingkan saudara kita di sana. Ini adalah
sebuah teguran bagi kita agar setiap kita memahami bahwa Allah menginginkan dien ini ditegakkan atas dasar
perjuangan dan pengorbanan.
Sayangnya kita
lebih sering lupa dari pada ingat. Sehingga ruang jiwa hanya menjadi hampa sekalipun
teguran datang menyapa...